- R20 dan Peran NU untuk Perdamaian Dunia
- Mencari Motif Kebuntuan Penentuan Jadwal Pemilu 2024
MESKIPUN tahapan Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 2024 telah diluncurkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada 14 Juni yang lalu, isu penundaan Pemilu tersebut kini masih menjadi diskusi di tengah masyarakat Indonesia.
Merujuk pada Peraturan KPU 3/2022 tentang Jadwal dan Tahapan Penyelenggaraan Pemilu Tahun 2024, Pemilu akan diselenggarakan pada 14 Februari 2022. Akan tetapi, kepastian adanya Pemilu tersebut masih menjadi misteri. Hal ini dikarenakan adanya dugaan upaya terstruktur untuk menunda Pemilu 2024.
Salah satunya adalah munculnya pernyataan elite negara -mulai dari Pimpinan lembaga tinggi negara, elite Partai Politik, hingga Menteri yang mendukung penundaan tersebut. Bagaikan gayung bersambut, antarelite nampak secara bergantian menyatakan dukungannya terhadap penundaan Pemilu.
Situasi ini tentu sangat berbahaya bagi demokrasi di Indonesia dan menjadi preseden buruk bagi politik Indonesia di masa yang akan datang. Para elite negara akan menggunakan kekuasaannya untuk mengubah konstitusi dan cipta kondisi sosial-politik yang bertujuan untuk melanggengkan kekuasaan dengan menunda Pemilu 2024 dan menambah masa jabatan.
Isu penundaan Pemilu 2024 berkaitan erat dengan isu lainnya, yaitu perpanjangan masa jabatan presiden, jabatan presiden 3 periode yang mulai muncul seiring dengan wacana amandemen UU Dasar Tahun 1945 sejak tahun 2019 yang lalu. Meskipun hal tersebut dibantah oleh Presiden Joko Widodo, pada tahun 2021 isu penundaan Pemilu 2024 kembali muncul dari salah satu Menteri dan beberapa Ketua Umum Parpol koalisi pemerintah.
Mereka menyampaikan beberapa alasan penundaan Pemilu 2024, mulai dari pandemi Covid-19, apresiasi kepuasan masyarakat atas kinerja pemerintah, hingga faktor bisnis dan investasi. Terbaru, isu penundaan Pemilu kembali muncul dari pernyaatan dua pimpinan lembaga tinggi negara, yaitu MPR dan DPD RI.
Pada sebuah acara peluncuran hasil survei, Ketua MPR Bambang Soesatyo menyebut bahwa tingginya kepuasan masyarakat dengan kinerja Jokowi-Ma'ruf Amin menunjukkan adanya keinginan dari masyarakat kembali dipimpin Jokowi.
Lainnya, Ketua DPD La Nyalla Mahmud Mattalitti menyampaikan bahwa Pandemi Covid-19 telah mempengaruhi kinerja kepemimpinan Presiden Jokowi dan ia menyarankan agar Presiden Jokowi menambah dua tahun masa jabatan.
Setidaknya terdapat beberapa alasan mengapa elite penguasa negara ini sangat berhasrat untuk melakukan penundaan Pemilu 2024
Mempertahankan Kekuasaan
Nature atau sifat alami dari kekuasaan adalah mempertahankan kekuasaan tersebut untuk bertahan lebih lama. Hal tersebut nampaknya sangat relevan kaitannya dengan wacana penundaan Pemilu 2024. Dalam konsep Machiavellian misalkan, upaya buruk dan keji sekalipun dapat dilakukan untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan.
Memposisikan kekuasaan sebagai raison d’etre, atau simbolisasi kekuasaan politik negara, Filsuf Italia tersebut mengajarkan bahwa kekuasaan merupakan kebaikan yang harus dipertahankan. Konsep tersebut tentu berangkat dari konteks yang berkembang pada saat itu, bagaimana jalan terbaik dan satu-satunya untuk mewujudkan kebaikan publik adalah melalui kekuasaan politik.
Jika merujuk upaya beberapa elite untuk menunda Pemilu 2024 dan berbagai alasannya, hal tersebut hanyalah bentuk arogansi elite yang ingin kekuasaannya bertahan selama mungkin. Ungkapan kata Power tends to corrupt; absolute power, corrupt absolutely dari Lord Acton tepat untuk menjelaskan situasi ini. Elite yang berpandangan bahwa penundaan Pemilu akan berdampak positif bagi dunia investasi tentu ingin kelompok dan kroni bisnisnya yang tetap memegang kendali.
Mendapatkan jabatan pimpinan lembaga tinggi negara merupakan suatu hal yang sulit untuk didapatkan. Tentu kesempatan tersebut merupakan peluang untuk bagaimana elit mempertahankan kekuasaannya guna melipatgandakan kapital yang mereka dapatkan.
Tingginya Ongkos Politik
Lainnya, bagi elite Parpol yang mendukung penundaan Pemilu tentu berpandangan bahwa penundaan Pemilu akan berdampak baik pada kekuasaan mereka. Melihat kompleksitas dan mahalnya political cost di Indonesia, elite Parpol akan diuntungkan dengan tidak perlu mengeluarkan ‘ongkos’ untuk kembali berkontentasi dalam Pemilu.
Tingginya biaya politik dan buruknya tata kelola pendanaan Parpol di Indonesia mendorong Parpol untuk mencari sumber pendanaan lain, termasuk dari kelompok bisnis. Mengutip Marcus Mietzner (2015) dalam Dysfunction by Design: Political Finance and Corruption in Indonesia, elite Parpol cenderung memilih ‘jalan gelap’ untuk secara cepat mendapatkan pendanaan bagi Parpolnya.
Hal ini mengakibatkan elit Politik seringkali berkompromi dengan kelompok bisnis dan pemodal untuk mendanai aktivitas politik mereka. Jeffrey Winters, seorang Ilmuwan Politik dari AS, menyebutnya sebagai kelompok oligarki dan politik kartel.
Dalam Richard S. Katz dan Peter Mair (2018), Politik Kartel merupakan cara pandang dalam praktik politik yang melihat bahwa akses dan distribusi dalam pemerintahan tidak boleh terlepas dari genggaman. Artinya, berada dalam lingkaran kekuasaan negara merupakan sebuah keharusan. Apalagi, situasi ekonomi dan investasi yang belum sepenuhnya membaik pasca Pandemi Covid-19 tentu mendorong kelompok bisnis untuk berfokus pada pemulihan bisnisnya, bukan mendanai kontestasi Pemilu 2024.
Situasi inilah yang kemudian menjadikan kedua aktor tersebut tidak siap dalam menghadapi Pemilu 2024. Kelompok politik tidak siap untuk lengser, dan elite bisnis tidak cukup untuk mendanai para aktor yang akan berlaga dalam Pemilu 2024.
Meskipun demikian, apapun alasannya, penundaan Pemilu tidak mempunyai dasar hukum. Sebaliknya, hal tersebut bertentangan dengan konstitusi UU Dasar Tahun 1945. Penundaan Pemilu dan perpanjangan masa jabatan hanyalah cara elite dan kelompok oligarki untuk melanggengkan kekuasaannya.
Lainnya, penundaan Pemilu merupakan bentuk pelecehan terhadap reformasi dan demokrasi Indonesia. Reformasi pada intinya adalah pembatasan masa jabatan dan penghargaan terhadap kedaulatan rakyat, sebuah perlawanan atas otoritarianisme yang pernah terjadi. Artinya, wacana penundaan Pemilu adalah pandangan kolonial nan usang yang mengembalikan kita ke masa gelap Orde Baru.
Lebih lanjut lagi, Pemilu merupakan media konsitusional untuk melakukan penghakiman bagi kekuasaan. Pemilu dapat menjadi punishment bagi penguasa yang buruk untuk tidak lagi berkuasa. Sebaliknya, Pemilu merupakan kesempatan untuk memberikan penghargaan bagi mereka yang baik untuk menjalankan kekuasaannya selanjutnya.
*Penulis adalah Peneliti Netfid Indonesia
ikuti terus update berita rmoljatim di google news
- DKPP Periksa Bawaslu Jatim dan Bawaslu Surabaya Atas Dugaan Laporan Caleg
- KPU Tetapkan 10 Parpol Peserta Pemilu 2024 Tak Lolos Parlemen
- Ormas-ormas Di Kota Probolinggo Siap Dukung Amin Ina Dalam Pilwali 2024