- Ngerinya Disebut Anak PKI
- Vaksin Itu
- Deklarasikan Anies, Tiga Partai akan Dapat Coattail Effect
"ANY decarbonizing technology right now is highly inflationary." (Larry Fink: BlackRock CEO)
Orang Jerman menyebutnya Dunkelflaute, gambaran dimana cuaca berawan gelap dan tidak ada angin yang bertiup, dan bisa terjadi untuk beberapa hari atau juga mencapai beberapa minggu lamanya. Situasi ini sangat mempengaruhi sistem ketenagalistrikan, karena listrik yang diharapkan datang pembangkit energi terbarukan, Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) tidak bisa berputar dan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) juga tidak berfungsi akibat tidak mendapatkan panas matahari.
Dunkenflaute kemudian diadopsi oleh pelaku energi khususnya di Eropa untuk menggambarkan keruwetan dan juga biaya tinggi akibat penetrasi energi terbarukan dalam sistem ketenagalistrikan, dimana PLTB dan “sepupunya” PLTS tidak mampu mengalirkan listrik sesuai dengan permintaan dan kebutuhan operator karena pengaruh cuaca.
Fenomena ini muncul setelah pada tahun 2010 Kanselir Jerman Angela Merkel mencanangkan Energiewende, versi Jerman dalam mencapai ambisi transisi energi yakni dengan menutup pembangkit nuklir dan membangun secara secara cepat PLTB dan PLTS diseluruh Jerman dengan dukungan subsidi besar-besaran. Pada tahun 2024 jumlah PLTS dan PLTB di Jerman telah mencapai 190 GW, dan kemudian menjadikan Jerman sebagai negara industri yang listriknya sangat tergantung cuaca (weather dependent) dan impor dari negara tetangga, khususnya Perancis.
Dunkelflaute ini juga membuka tabir bahwa penetrasi energi terbarukan khususnya PLTB dan PLTS yang dianggap murah ketika listrik sampai ke konsumen ternyata harganya melonjak tinggi sekali. Pada Desember 2024, harga listrik di pasar spot di Jerman mencapai €936 MWh dan harga listrik di Jerman merupakan yang tertinggi di Eropa, mencapai €416,20 per MWh, 69% lebih tinggi dari rata-rata Eropa sebesar €245,78 per MWh. Pada tahun 2017, di Jerman sebanyak 361.000 pelanggan listrik tidak mampu membayar tagihan listrik mereka.
Masyarakat awam banyak yang keheranan dengan meningkatnya harga listrik ke konsumen padahal energi terbarukan yang digadang-gadang lebih murah dari energi fosil semakin merebak dimana-mana. Bahwa diskusi energi terbarukan harganya semakin murah tidaklah salah, namun tidak tepat jika menganggap listrik yang murah tersebut akan juga dinikmati secara murah oleh konsumen. Mengapa demikian?
Dinilah letak persoalannya. Meskipun energi terbarukan memiliki biaya listrik terendah hal ini tidak sama dengan tagihan listrik yang lebih rendah karena satu alasan sederhana ?" kita membayar sistem energi yang perlu mencakup biaya transmisi, pencadangan, penyeimbangan (balancing) dan penyimpanan. Semua ini tidak murah, terutama jika dilihat pada tingkat jaringan listrik (grid), di mana biaya meningkat pesat seiring dengan meningkatnya proporsi energi terbarukan.
Sistem ketenagalistrikan merupakan mesin besar yang merupakan gabungan kompleks dari berbagai teknologi, lembaga, pasar, regulasi, dan juga tatanan sosial. Ada pembangkit listrik yang beragam, ada transmisi dan distribusi. Listrik yang dihasilkan oleh pembangkitan ditransmisikan dan kemudian didistribusikan ke konsumen.
Sampai disini persoalan kelihatan sederhana, namun masalahnya adalah listrik (daya) yang dibangkitkan “tidak bisa disimpan”, dan agar sistem (grid) berjalan dengan baik jumlah daya yang diproduksi dan dikonsumsi haruslah seimbang jumlahnya. Sayangnya permintaan dan penawaran berjalan sangat fluktuatif dan dinamis berubah terus tiap waktu, sehingga setiap sistem ketenagalistrikan harus mampu menjaga keseimbangan produksi dan konsumsi tersebut.
Sistem ketenagalistrikan yang baik adalah yang memiliki kehandalan dan fleksibilitas dan mengatasi naik turunnya permintaan listrik. Pembangkit terbarukan (PLTS dan PLTB) dianggap pembangkit yang tidak memiliki fleksibilitas, tidak konstan (variable), sehingga sering mengganggu keandalan jaringan. Sumber energi terbarukan sangat bergantung pada kondisi cuaca, sehingga kadang-kadang mereka menghasilkan lebih banyak daya (power) daripada yang dibutuhkan, atau sebaliknya.
Semua jaringan ketenagalistrikan memiliki otoritas penyeimbang (balancing authority) yang memastikan bahwa pasokan listrik pada jaringan listrik benar-benar sesuai dengan kebutuhan.
Kita di Indonesia menggunakan frekwensi 50Hz untuk melihat keseimbangan pasokan daya dan konsumsi, sementara di Amerika menggunakan skala frekwensi 60Hz. Menjaga keseimbangan frekwensi listrik inilah titik pangkal harga listrik dari pembangkit energi terbarukan menjadi problematik. Semua pembangkit listrik yang masuk ke jaringan harus berputar sinkron dengan frekwensi 50 Hz atau 60 Hz tergantung mana yang dipilih.
Karenanya dalam sebuah sistem ketenagalistrikan perlu dilakukan penyeimbangan (balancing) terus menerus agar kesimbangan daya tetap terjaga. Menjaga keseimbangan sistem ini dari naik turun beban (ramp rate) dan menjaga kehandalan sistem (grid reliability) memerlukan apa yang disebut balancing-cost atau grid integration cost yang dilakukan oleh pembangkit dari fosil seperti gas atau diesel yang mampu masuk ke jaringan dalam waktu cepat (peaker), dan ini harganya sangat mahal. Dalam sistem ketenagalistrikan multi-buyer multi-seller fungsi ini diemban oleh ancillary services yang mematok harga sangat mahal untuk beberapa jam saja guna menjaga keseimbangan grid.
Penetrasi energi terbarukan dengan demikian mengakibatkan terjadinya lonjakan biaya akibat integrasi jaringan dan kebutuhan akan kapasitas cadangan untuk menjaga intermitensi PLTS dan PLTB. Didalam sistem ketenagalistrikan yang memiliki banyak pembangkit terbarukan, memerlukan adanya biaya pengelolaan jaringan, kebutuhan akan kapasitas cadangan, dan juga peningkatan investasi dalam penyimpanan dan infrastruktur.
Karena energi terbarukan (PLTS & PLTB) bersifat intermiten maka semakin banyak masuk ke jaringan, rasio listrik yang dihasilkan terhadap kapasitas terpasang menurun. Pembangkit listrik fosil dan nuklir mampu mencapai sekitar 8000 “jam beban penuh” per tahun (jumlah listrik yang benar-benar dihasilkan dalam setahun, dibagi dengan kapasitas terpasang). Rata-rata “jam beban penuh” di Jerman adalah sekitar 2000 jam untuk tenaga angin darat, dan sekitar 800 jam untuk tenaga surya. Jadi, semakin banyak listrik yang dihasilkan oleh sumber-sumber intermiten, semakin menurun pula jam beban penuh dan ini sangat berpengaruh terhadap jaringan.
Persoalan lain dari penetrasi energi terbarukan adalah apa yang disebut oleh Meredith Angwin -veteran ketenagalistrikan Amerika- sebagai “Fatal Trifecta”, ketergantungan terhadap energi terbarukan, ketergantungan terhadap just-in-time pasokan gas alam dan juga ketergantungan akan impor listrik dari tempat lain. Ini adalah kombinasi dari faktor-faktor berbahaya yang dapat merusak keandalan jaringan listrik, yang berpotensi menyebabkan pemadaman listrik atau kegagalan sistem.
Angwin berpendapat bahwa tiga faktor ini menciptakan jaringan yang rapuh, seperti terlihat pada peristiwa seperti pemadaman listrik di Texas pada Februari 2021 selama Badai Musim Dingin Uri. Ia menganjurkan pendekatan yang lebih seimbang, dengan menekankan pada tenaga beban dasar (baseload) yang andal (reliable) seperti nuklir atau batubara dengan penyimpanan bahan bakar di lokasi untuk memastikan stabilitas, daripada terlalu bergantung pada energi terbarukan yang bervariasi dan rantai pasokan yang tidak stabil.
Dalam sistem ketenagalistrikan konvensional beban dasar itu dilakukan oleh pembangkit listrik batubara (PLTU) atau pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN). Dan karenanya upaya untuk menutup PLTU atau PLTN dan menggantinya dengan PLTS dan PLTB menjadikan sebuah negara melakukan bunuh diri energi (energy suicide).
*Penulis adalah Energy Investment & PPP Specialist ENRI Indonesia
ikuti terus update berita rmoljatim di google news
- Membaik Memburuk
- Solid Hebat
- Tetangga B