- Mengulas Kembali ''Pergerakan Merah'' Hindia Belanda
- Warga Butuh Ruang Publik yang Bebas
- Ironi Politik Tekno-moral Negeri Hindustan
BALADA November, balada Guns N' Roses. Bersama hujan rintik di bulan ini, mengalun merdu tembang sohor sejagat awal dekade '90an, ''November Rain''. Tak ada jeda, minim celah. Satu bait lirik melengking lewat suara Axl Rose, sang vokalis. Ia menulis sendiri lirik kidung kondang penyabet posisi ketiga di puncak tangga lagu Billboard AS begitu dirilis 1992. Tiga puluh tahun silam.
Masa boleh berlalu, musim silakan berganti. Namun, melodi 'November Rain' tetap enak di hati. Suasana sudah berubah, tak lagi sama seperti saat senandung Axl Rose itu membahana sejagat. Ada kontras perubahan dari perbandingan berbagai peristiwa yang berlangsung selama tiga dekade ini.
Tembang itu lahir dari generasi X. Generasi saksi sejarah luruhnya perang dingin, hancurnya tembok Berlin serta bubarnya Uni Sovyet. Di Indonesia, masa-masa itu adalah awal periode transisi bandul politik, dari era CSIS ke era ICMI. Terjadi resistensi dimana-mana karena ketidakrelaan pada perubahan bandul politik tersebut.
Resistensi senyap muncul dimana-mana. Perlawanan terhadap rezim Orde Baru menemukan bentuk baru. Blok politik lama berusaha mempertahankan hegemoni melalui jejaring di luar elit pemerintah. Mereka yang di awal Orde Baru telah merasakan berbagai kenikmatan di puncak kekuasaan dan lazimnya ogah mendengar suara kritis. Tiba-tiba, mereka mendadak merakyat.
Mendekati para kritikus di lapangan, membangun jejaring ke massa. Mereka yang tadinya penikmat kue Orde Baru lalu rajin tampil di media dan ruang publik, bak kritikus. Mereka menebar kritik ke rezim yang berkuasa saat itu, seakan-akan mereka adalah bagian dari rakyat tertindas selama Orde Baru berkuasa. Padahal, merekalah biang kerok semua krisis pembangunan.
Memaknai Perubahan
Perubahan adalah salah-satu nasehat dalam lirik 'November Rain' Guns N' Roses. Coba simak bait ini:
Nothin' lasts forever
And we both know hearts can change
And it's hard to hold a candle
In the cold November rain
(Tidak ada yang bertahan selamanya
Dan kita berdua tahu hati bisa berubah
Dan sulit untuk memegang lilin
Dalam dinginnya hujan bulan Nopember)
Mereka yang tak berubah adalah mereka yang tak 'Move On'. Termasuk para politisi yang kukuh masih ingin mengendalikan kuasa. Padahal, sudah ada contoh nyata di awal dekade '90an ketika terjadi perubahan bandul politik di Indonesia, tapi mereka tetap hendak berkuasa lalu selalu mencari cara mempertahankan kekuasaan. Diantaranya, cara memprovokasi massa.
Mari kita simak sekelumit ulasan musisi peraih Nobel Sastra 2016, Bob Dylan, dalam buku terbarunya ''The Philosophy of Modern Song'' yang terbit pada November 2022. Tatkala ia mengulas tembang 'War' karya Edwin Starr yang dirilis Maret 1970.
Dylan menulis, perang telah membangkitkan banyak orang untuk bebas dari penindasan serta perbudakan. Pemenang perang selalu berupaya mengarahkan pecundang, bahkan untuk tujuan menemukan suara berbeda. Sedangkan perang adalah politik dalam bentuk lain.
Walau respon Dylan itu termaktub dalam bentuk paragraf per paragraf, namun maknanya sangat dalam untuk meneropong perubahan. Biasanya, para pecundang politik sulit berubah. Apalagi pecundang yang lama dimanja keadaan. Dimanja situasi. Serba tercukupi, tak pernah peduli. Hanya berpikir tentang diri sendiri. Bahkan politik digunakan untuk syahwat pribadi.
Situasi semacam itu jelas kontras dari kehendak publik. Kemauan publik yang kini kian kritis menilai apa saja yang mereka temui. Perubahan tentu menjadi kata kunci. Bukan berubah ala kadarnya, namun menghujam ke alam kesadaran.
Akhirul kalam, tentu sangat elok jika bulan November yang mulai sering turun hujan ini menjadi pemantik kesadaran untuk berubah. Lalu membawa kita pada situasi lebih baik, lebih nikmat serta lebih sejahtera.
Peneliti JPIPNetwork
ikuti terus update berita rmoljatim di google news
- Mengulas Kembali ''Pergerakan Merah'' Hindia Belanda
- Warga Butuh Ruang Publik yang Bebas
- Ironi Politik Tekno-moral Negeri Hindustan