Revisi terhadap Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mendapatkan sorotan pakar hukum di sejumlah perguruan tinggi di Kabupaten Jember.
- Operasi Kemanusian, Polri Kirim Brimob dan Tim Medis ke Papua
- Soal Kasus Ajudan Kadiv Propam, Irwasum Polri Terbuka atas Temuan Komnas HAM
- KPK Ultimatum Sekretaris MA Hasbi Hasan dan Dadan Tri Yudianto agar Kooperatif
Setelah Pakar Hukum Universitas Jember, Universitas Islam Negeri KH Ahmad Shiddiq ( UIN KHAS) Jember, kini sorotan dari pakar Hukum Universitas Muhammadiyah Jember.
Revisi KUHAP yang tertuang dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) yang tengah dibahas tahun 2025 ini, berpotensi membawa perubahan signifikan dalam sistem peradilan pidana Indonesia.
Demikian terungkap dalam diskusi publik di Kampus Universitas Muhammadiyah Jember, dengan tema "Catatan Kritis RKUHAP: Harmoni Vs Hegemony", dengan Nara sumber Profesor, Dr Margarito, Pengamat hukum Tata Negara Universitas Hasanuddin, Wakapolres Jember, Kompol Ferry Dharmawan, S.Psi, SIK. serta Dekan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jember, Ahmad Suryono beserta sejumlah elemen masyarakat dan Mahasiswa.
Salah satu perubahan yang paling mencolok adalah adanya penguatan peran dominus litis pada kejaksaan. Langkah ini bisa ditafsiri memberikan kontrol lebih besar kepada kejaksaan dalam proses penyidikan, penuntutan, hingga pengawasan terhadap lembaga penegak hukum lainnya.
Menurut Profesor Dr Margarito Kamis, meskipun penguatan ini bertujuan meningkatkan efektivitas dan mempercepat proses hukum, penguatan dominasi Kejaksaan tanpa adanya mekanisme pengawasan yang ketat, dapat menciptakan celah bagi penyalahgunaan wewenang. Selain itu memunculkan potensi impunitas bagi pihak tertentu.
"Dominus Litis (pada kejaksaan) ini berpotensi menciptakan masalah baru. Jika pengawasan terhadapnya tidak diperkuat, kita justru akan menciptakan 'monster' baru dalam sistem peradilan," terang Prof. Margarito Kamis, dikutip Kantor Berita RMOLJatim, Kamis 27 Februari 2025.
Salah seorang peserta diskusi, Mahrus Sholih, mempertanyakan adanya potensi jual beli status tahanan di kejaksaan serta kewenangan yang ugal-ugalan apabila RKUHAP tetap disahkan.
Menanggapi pertanyaan itu, Prof. Margarito Kamis menegaskan hal itu bukanlah tidak mungkin. Mengingat proses penyelidikan yang diberikan kepada Kepolisian hanya terbatas 14 hari.
Dia juga menilai bahwa penguatan dominus litis kejaksaan dapat menghilangkan keseimbangan antara lembaga penegak hukum lainnya seperti kepolisian. Jika tidak ada mekanisme cek and balance, menurutnya, hal ini bisa berisiko besar.
"Jika tidak ada cek perkara, itu akan menjadi berbahaya," katanya.
Dia juga mengkritisi durasi penyelidikan yang dibatasi hanya 14 hari, yang dinilai tidak realistis dan bahkan berpotensi membuka ruang bagi penyalahgunaan kewenangan.
"14 hari untuk penyelidikan itu omong kosong. Harus dibicarakan dengan serius," terangnya.
Menurut Margarito RKUHAP memberikan kejaksaan beberapa kewenangan baru, seperti intervensi dalam penyidikan dan kontrol terhadap proses prosedural. Salah satu ketentuan yang disorot adalah Pasal 8 dan Pasal 11, yang memungkinkan pelapor untuk langsung mengajukan laporan ke penuntut umum jika penyidik tidak bertindak dalam waktu 14 hari.
Selain itu, kejaksaan juga diberi hak untuk mengajukan permohonan terkait sah tidaknya penangkapan, penahanan, dan penggeledahan.
Namun, penguatan peran Kejaksaan ini dinilai bisa menciptakan ketimpangan kekuasaan dalam sistem peradilan pidana. Hal ini menjadi semakin relevan mengingat lemahnya sistem pengawasan eksternal yang ada.
Senada disampaikan Dekan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jember, Ahmad Suryono. Dia menyatakan bahwa RKUHAP tidak menawarkan solusi nyata bagi masalah hukum di Indonesia. Jika tujuan revisi ini adalah untuk meningkatkan efektivitas hukum, kenapa justru model yang diadopsi adalah yang telah ditinggalkan oleh negara-negara maju seperti Belanda.
Suryono mengkhawatirkan bahwa jika kewenangan penyelidikan dan penuntutan dipusatkan hanya pada Kejaksaan, tanpa mempertimbangkan kesiapan SDM dan infrastruktur yang memadai, justru akan memperburuk kondisi penegakan hukum di Indonesia.
"Kasus-kasus yang mangkrak sekarang saja sudah banyak, apalagi jika semua kewenangan dipusatkan di kejaksaan," jelasnya.
Sistem penguatan kejaksaan dalam RKUHAP sering kali dibandingkan dengan sistem di Korea Selatan, Kejaksaan memiliki peran dominan dalam proses penyelidikan dan penuntutan. Namun, seperti yang dicatat oleh Jan Terpatra dalam bukunya Police Reform as Institusional Change (2020), negara-negara dengan tingkat kepercayaan rendah terhadap institusi hukum cenderung melihat peningkatan kewenangan aparat hukum sebagai bentuk represi terhadap warga negara, bukan sebagai alat untuk menegakkan keadilan.
Secara keseluruhan, meskipun penguatan kejaksaan dalam RKUHAP dapat mempercepat proses peradilan, perubahan ini harus disertai dengan reformasi serius terhadap sistem pengawasan. Tanpa pengawasan yang ketat, risiko terjadinya penyalahgunaan wewenang dan ketimpangan kekuasaan dalam sistem peradilan akan semakin besar. RKUHAP perlu dievaluasi ulang agar tidak mengorbankan prinsip due process of law demi efisiensi yang belum tentu menghasilkan keadilan.
ikuti terus update berita rmoljatim di google news
- Asas Dominus Litis Timbulkan Keseimbangan Fungsi Polisi
- Wewenang Kejaksaan di Revisi KUHAP Bisa Bikin Chaos
- Pakar Hukum UIN KHAS Jember Soroti Pasal Penyelidikan Hilang di Revisi KUHAP