Pakar Hukum UIN KHAS Jember Soroti Pasal Penyelidikan Hilang di Revisi KUHAP

Guru besar UIN KHAS Jember, Prof Dr Noor Harisudin/ist
Guru besar UIN KHAS Jember, Prof Dr Noor Harisudin/ist

Rencana pengesahan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pada 21 Maret 2025 menjadi Undang-Undang, dinilai terburu-buru.


Pakar Hukum Universitas Islam Negeri KH Ahmad Shiddiq (UIN KHAS) Jember, Prof Dr Noor Harisudin menyoroti atau memberi perhatian serius. 

Meski menjadi prioritas Prolegnas (Program legislasi Nasional) tahun 2025, RUU KUHAP ini sudah selayaknya mempertimbangkan masukan publik agar KUHAP edisi revisi benar-benar sesuai harapan masyarakat Indonesia. 

"Jangan sampai sebaliknya: KUHAP Edisi Revisi akan menjadi problematik di kemudian hari," kata Guru Besar UIN KHAS Jember itu dikutip Kantor Berita RMOLJatim, Minggu (16/2).

Dia menjelaskan, dalam pandangan Ketua Komisi III DPR RI, Habiburrokhman, RUU tentang Perubahan atas UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP ini harusnya dapat diselesaikan dalam masa sidang DPR RI pada 1 Januari-20 Maret 2025 ini. 

Draft RUU KUHAP ini hingga kini juga masih disusun Badan Keahlian DPR RI. Pembaharuan aturan KUHAP ini memang mendesak dilakukan, apalagi setelah ditetapkannya hukum pidana yang baru dalam UU No 1 Tahun 2023 tentang KUHP.  

"Kita patut mengapresiasi RUU KUHAP ini sebagai bagian dari reformasi hukum di negeri ini. Ada pasal-pasal inovatif misalnya Hakim Pemeriksa Pendahuluan (HPP) dalam Pasal 29 yang sebelumnya tidak mendapat peran dengan lebih baik," katanya.

Demikian juga pasal-pasal up date yang menghubungkan KUHAP Edisi Revisi agar masyarakat dapat beracara di pengadilan dengan alat bukti elektronik Pasal 175.

Artinya, beberapa penyempurnaan KUHAP memang dibutuhkan agar undang-undang ini relevan dengan zaman sekarang dan masa yang akan datang.     

"Pada sisi lain, kita harus curiga dengan RUU KUHAP yang diduga mengandung ketimpangan serius. Karena alih-alih menjadi penyempurnaan, kitab undang-undang yang memuat peran aparat penegak hukum disingkat APH secara nyata-nyata mengandung potensi ketidaksetaraan peran dan kewenangan APH," jelas dia.

Bahkan, ada kecenderungan menumpuknya dominasi power di salah satu APH. Asas diferensiansi fungsional yang setara antara APH (Jaksa, Hakim, Polisi dan Advokat) yang selama ini berjalan dengan baik selayaknya dipertahankan. Justru, diferensiasi fungsional yang setara antara aparat penegak hukum harus lebih dikuatkan dalam RUU ini.  

"Kita menjadi kaget dengan hilangnya pasal penyelidikan dalam RUU KUHAP. Padahal, penyelidikan adalah hal yang krusial dalam rangka pelayanan dan menjaga hak asasi masyarakat (HAM) publik," terangnya.

Dijelaskan Noor Harisudin, dalam Pasal 1 angka 5 KUHAP diterangkan bahwa penyelidikan merupakan serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. 

Sebagai bagian dari perlindungan dan jaminan HAM, tujuan penyelidikan adalah untuk mengumpulkan bukti permulaan agar dapat dilakukan tindak lanjut penyidikan.

Dengan kata lain, penyelidikan merupakan tindak pengusutan sebagai usaha dan menemukan keterangan dan bukti-bukti yang diduga merupakan tindak pidana. Penyelidikan, oleh karenanya, merupakan bagian dari ketatnya proses acara di pengadilan.

"Namun demikian, tempo penyelidikan yang tanpa ada batasan waktu dalam KUHAP (1981) juga perlu dikritik. Usulan limitasi waktu penyelidikan yang proporsional dalam RUU KUHAP menjadi penting untuk menjamin kepastian hukum para orang yang berperkara," ujarnya.

Pasal lain lanjut dia adalah peran dominus litis jaksa dalam hirarki yang menempatkan jaksa sebagai aparat penegak hukum dengan berbagai kewenangan ganda (penuntut dan juga penyidik). 

Kewenangan ganda terlihat dalam beberapa pasal RUU KUHAP. Sebagai contoh, pada pasal 12 ayat 11 dijelaskan bahwa jika laporan masyarakat ke polisi dinilai tidak kunjung diproses dalam waktu 14 hari, maka masyarakat dapat melaporkannya ke kejaksaan dan jaksa juga bisa melakukan tahapan penyidikan mulai dari inquiry atau penyelidikan hingga penuntutan.

Kewenangan ini juga terlihat dalam pasal 111 ayat 2  RUU KUHAP. Dalam pasal ini disebutkan tentang kewenangan jaksa untuk mempertanyakan sah tidaknya penangkapan dan penahanan oleh pihak kepolisian. 

Tidak hanya itu, dalam Pasal 30 b juga mengatur tentang kewenangan jaksa melakukan penyadapan. Ini berarti bahwa jika sebelumnya, kejaksaan hanya bisa memproses hukum pidana khusus yang berstatus extraordinary crime, korupsi atau HAM, maka dengan RUU KUHAP ini, nantinya jaksa juga memegang domain penyidikan pidana umum. 

Kewenangan yang berlebih pada salah satu aparat penegak hukum ini akan berpotensi abuse of power (penyalahgunaan kekuasaan). 

Dengan kewenangan yang ada selama ini, jaksa dan juga APH lain saja, sudah banyak kasus, maka bagaimana dengan kewenangan APH Jaksa yang power full tersebut?

Suara Publik

Lebih dari itu, pengesahan RUU KUHAP ini nantinya dikhawatirkan akan kembali menjadi mundur ke jaman Herziene Inlandsch Reglement (HIR) zaman Belanda yang menempatkan polisi sebagai pembantu jaksa (hulp magistraat). 

Demikian juga dengan restorative justice yang hanya bisa dilakukan oleh penuntut umum Padahal semangat restorative justice ini adalah menemukan jalan terbaik antara korban dan pelaku. Konsep keadilan restoratif menekankan pemulihan kembali hak korban ke keadaan semula, bukan retributif atau pembalasan. 

"Demikian ini akan semakin menguatkan dugaan APH kejaksaan sebagai lembaga superbody di masa yang akan datang," kata Ketua PP Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara-Hukum Administrasi Negara itu.

KUHAP lama adalah produk perundangan di Indonesia yang sudah clear mengatur diferensiasi fungsional dalam kerangka Integrated Criminal Justice System (ICJS) antar aparat penegak hukum. Saat ini, hanya perlu menyempurnakan KUHAP 1981 dengan berbagai kelemahannya.  

Dus, dalam KUHAP Edisi Revisi nanti, ICJS sebagai sistem peradilan pidana yang terpadu dan terkoordinasi harus semakin kokoh di sini. Karena sistem kriminal terintegrasi sejatinya bertujuan untuk mewujudkan penegakan hukum yang berkeadilan dan juga berkepastian.

"Walhasil, DPR harus mendengar suara rakyat. Karena suara rakyat adalah suara Tuhan. Vox populi vox dei. Apalagi partisipasi masyarakat dalam penyusunan undang-undang juga sudah dijamin dalam UU Nomor 12  tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Mengapa harus terburu-buru?," tegasnya.

ikuti terus update berita rmoljatim di google news