Paranoid Aktor Negara Mengawasi Warga

Foto dok
Foto dok

SEJAK peristiwa 9/11 di New York, AS, upaya untuk mengawasi aktivitas warga merak di berbagai negara. Selain AS, negara-negara seperti Malaysia, Thailand dan Indonesia, juga ikut mengawasi kegiatan warganegara masing-masing. Dalih pengawasan pun seragam, yakni untuk menciptakan rasa aman dan nyaman kepada warganegara. Dalih yang diulang-ulang dalam berbagai kesempatan agar warganegara bisa maklum, bahwa aktor-aktor negara mengawasi warganegara dengan tujuan memberi rasa aman serta nyaman.

Masalahnya, yang terjadi justru sering rasa aman dan tidak nyaman dirasakan warganegara karena pengawasan itu. Apalagi, pengawasan begitu ketat, termasuk aktor negara cepat mencurigai gerak-gerik warganegara. Bagi aktor negara, setiap gerak-gerik, perilaku, atau kegiatan dari warganegara berpotensi menimbulkan ancaman. Apapun kegiatan itu, jika aktor negara kemudian menafsirkannya sebagai ancaman, maka warganegara mendadak berubah statusnya menjadi musuh negara. Enemy of the state.

Saat warganegara sudah berlabel musuh negara, maka pudarlah semua hak yang melekat pada dirinya. Ia tak lagi memperoleh perlindungan maksimum dari negara, ia tak lagi mendapat layanan sebagaimana mestinya. Dan sebagai musuh negara, ia akan selalu dikuntit kemanapun ia pergi. Ia selalu dimata-matai, apapun kegiatannya. Seluruh anggota keluarganya akan ditelusuri, lalu aktor negara membuat profil keluarganya, termasuk siapa saja dalam jaringannya. Lalu, aktor negara membuat pengumuman ke publik, bahwa warganegara terduga telah menjadi ancaman publik.

Kedekatan aktor negara pada komunitas media massa mempermudah penyebaran pengumuman itu. Komunitas media massa tak lagi bisa kritis menilai semua proses pengawasan sampai pengumuman yang dilakukan aktor negara. Lebih menyedihkan, semua prinsip jurnalistik, seperti cross-check atau check and balances, runtuh dihadapan aktor negara. Dalih demi mencegah ancaman ke publik, maka tak ada lagi kebebasan pers. Pers seakan tunduk pada dalih aktor negara itu. Selain karena malas menginvestigasi, pers juga enggan mempertanyakan informasi dari aktor negara.    

Buku ini menelusuri bagaimana proses pengawasan negara berlangsung dalam sejarah. Selama lebih dari 500 tahun,  pengawasan menjadi bagian penting dalam pemerintahan. Berbagai jenis pengawasan telah diberlakukan oleh pemerintahan untuk tujuan mencegah ancaman dari luar sekaligus meraih kemenangan dalam perang. Adalah Julius Caesar dari Romawi, yang membangun militer dan intelijen politik untuk mengantisipasi berbagai ancaman bagi pemerintahannya.  

Sementara itu, para penguasa di dunia kuno, setidaknya hingga awal Abad Pertengahan, menggunakan mata-mata di dalam negeri untuk melawan musuh atau kelompok tertentu. Langkah pengawasan tersebut umumnya kecil dan difokuskan pada elit agama atau politik yang dianggap sebagai ancaman bagi mereka yang memegang kekuasaan. Biasanya raja yang turun-temurun yang melakukan pengawasan itu. Operasi mata-mata dalam negeri dan infiltrasi politik tersebut umumnya kurang memiliki kontrol terpusat seperti yang kita lihat dalam birokrasi pemerintahan modern.

Metode pengawasan domestik yang telah berlaku selama berpuluh-puluh tahun di Inggris kemudian dibawa ke AS karena pada awal abad ke-17 AS adalah jajahan Inggris sampai tahun 1776. Pengawasan domestik dan penindasan politik telah menjadi ciri umum kehidupan Amerika tak lama setelah orang-orang buangan politik Inggris pertama tiba pada awal abad ke-17. Ada ironi yang kejam dalam kenyataan bahwa para pemukim kulit putih berbahasa Inggris itu, yang banyak di antaranya melarikan diri dari Inggris karena pengawasan dan penganiayaan politik dan agama, justru akan menjadi penindas ketika tiba di AS.

Selama berabad-abad, pemerintah AS dan Eropa telah mengembangkan cara yang relatif canggih untuk mengumpulkan data intelijen asing yang dirancang untuk mencegah serangan mendadak, atau jika gagal, mengembangkan informasi yang diperlukan untuk melihat konflik hingga mencapai kemenangan. Di antara negara-negara bangsa modern, pengumpulan intelijen seperti itu dalam keadaan damai dan perang merupakan praktik lumrah. Namun, di negara-negara demokrasi Eropa dan Amerika, saat ini ada perbedaan yang mengikat secara hukum antara pengawasan domestik yang sah dan yang tidak sah.

Di AS, hasil Amandemen pertama dan keempat terhadap Konstitusi kemudian menjamin kebebasan warganegara untuk berekspresi. Aktor-aktor negara baik di tingkat pusat, federal maupun lokal harus merujuk kepada putusan pengadilan yang mendasarkan pada hasil amandemen itu untuk menjamin kebebasan warganegara dalam berbagai kegiatan. Namun seperti yang terlihat dalam fakta sehari-hari, perlindungan hukum tersebut sering kali tidak sebanding dengan kekuatan politik kasar yang dijalankan oleh pejabat pemerintah, yang sering kali dengan persetujuan atau dukungan langsung dari Kongres dan pengadilan federal pada masa perang atau dugaan keadaan darurat nasional untuk mengawasi kegiatan warganegara.

Pengungkapan mengejutkan oleh Edward Snowden tentang pengawasan elektronik pemerintah secara massal tanpa surat perintah pada tahun 2013 merupakan salah satu yang paling signifikan dalam serangkaian kejadian yang terjadi beberapa dekade lalu. Namun, fokus pada pengawasan telepon dan internet secara massal telah mengaburkan masalah yang lebih besar: mentalitas di balik tidak hanya pengawasan dalam negeri tetapi juga tindakan yang lebih luas yang dirancang dalam banyak kasus untuk benar-benar melemahkan, jika tidak menghancurkan, kelompok dan gerakan masyarakat sipil dalam negeri yang secara terbuka dan tegas menantang paradigma politik yang sedang dipraktekkan aktor-aktor negara.

Kasus-kasus pengawasan keblinger berdalih mengantisipasi ancaman ini ternyata juga terjadi di Indonesia. Jika diperhatikan seksama sejak tahun 2014, pengawasan berujung kriminalisasi sosok, figur atau kelompok tertentu yang dilabel sebagai musuh negara berlangsung secara masif. Warganegara seperti dipaksa tunduk dan patuh pada apapun perbuatan aktor atau aparat pemerintah. Tragisnya, mafia hukum dan peradilan ikut bermain untuk melindungi perbuatan bejat oknum-oknum aparat. Kasus Satgasus dan Sambo menjadi contoh.

Akhirulkalam, negara memang membutuhkan pengawasan dan warganegara memaklumi itu. Namun, jika pengawasan itu berlebihan bahkan memakai media konvensional serta media sosial untuk viral mencap warganegara sebagai musuh negara, maka pengawasan semacam itu tak lebih hanyalah wujud mentalitas paranoid oknum penguasa.

Penulis adalah akademisi dan periset

ikuti terus update berita rmoljatim di google news