Pasien TBC Mangkir Pengobatan, Rumahnya Bakal Ditempel Stiker

Nanik Sukristina/RMOLJatim
Nanik Sukristina/RMOLJatim

Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Surabaya, Nanik Sukristina mengatakan berdasarkan perwali nomor 117 tahun 2024 pasal 26 dan 29, pasien penderita TBC Sensitif Obat (SO) dan TBC Resisten Obat (RO) yang mangkir selama satu minggu tanpa konfirmasi dan terdapat indikasi drop out atau menolak pengobatan, rumahnya akan ditempel stiker “Mangkir Pengobatan”. 


Dalam penerapan tersebut, Pemkot Surabaya akan membentuk tim Hexahelix, yang terdiri dari unsur kecamatan, kelurahan, puskesmas, Bhabinkamtibmas, Babinsa, RT/RW, tokoh agama, tokoh masyarakat, Satgas TBC, Kader Surabaya Hebat (KSH), hingga peer educator.

”Mekanisme yang dilakukan dengan intervensi berupa satu kali kunjungan rumah oleh puskesmas dan dua kali kunjungan rumah oleh Tim Hexahelix wilayah, untuk memberikan KIE (komunikasi, informasi, dan edukasi) sanksi administratif. Jika sudah dilakukan intervensi sebanyak tiga kali dan tetap tidak ada perubahan, maka dilakukan pemasangan stiker “Mangkir Pengobatan” di rumah pasien,” kata Nanik dikutip RMOLJatim, Senin 28 April 2025. 

Setelah itu, lanjut Nanik, pemkot juga akan melakukan penonaktifan NIK dan BPJS. Penonaktifan NIK dan BPJS ini dilakukan, jika penderita TBC SO dan TBC RO menolak untuk ditempel stiker “Menolak Pengobatan” dan tidak mau menandatangani surat pernyataan ketika menolak pengobatan. 

“Pasien TBC yang telah melakukan penandatanganan penolakan pengobatan, dilakukan pemasangan stiker menolak dan pasien TBC yang menolak melakukan penandatanganan tersebut, maka akan dibuatkan berita acara penolakan dan pasien menandatangani surat pernyataan menolak pengobatan TBC. Jika tidak kembali melakukan pengobatan, maka akan masuk ke alur penonaktifan KK dan BPJS Kesehatan,” papar Nanik. 

Nanik menerangkan, jika pasien TBC SO dan TBC RO sudah kembali melakukan pengobatan, puskesmas bersama Tim Hexahelix akan melakukan proses pengaktifan kembali KK dan BPJS Kesehatan pasien. 

Pengaktifan BPJS Kesehatan tersebut dilakukan sesuai dengan ketentuan kondisi pasien dalam keadaan sehat atau sakit. 

Pemkot tidak hanya menerapkan aturan tersebut pada warga Surabaya, akan tetapi juga berlaku bagi warga pindah datang dari luar kota. 

Berdasarkan Perwali nomor 117 Pasal 1 ayat 19, Pasal 9, dan 25 huruf f, pemohon pindah masuk dari luar Kota Surabaya wajib melakukan skrining TBC di puskesmas wilayah. 

“Nah, setelah pengajuan pindah masuk diterima melalui aplikasi Klampid New Generation, dilanjutkan dengan skrining TBC di puskesmas wilayah. Kemudian, hasil skrining dari puskesmas itu jadi persyaratan untuk pengambilan KTP. Lalu, apabila hasil skrining mengarah ke tanda dan gejala TBC, maka segera dilakukan tatalaksana TBC sesuai standar di fasyankes,” pungkasnya. 

Seperti diberitakan Pemkot Surabaya terus berupaya melakukan pencegahan dan pengendalian penyakit tuberkulosis (TBC) di Kota Pahlawan. 

Salah satu upaya yang dilakukan adalah, pemberian pengobatan gratis secara rutin kepada pasien penderita TBC. 

Tidak hanya pengobatan rutin, Pemkot Surabaya juga akan menerapkan sanksi sosial terhadap pasien TBC yang tidak mau atau mangkir berobat rutin atau diobati. 

Bentuk sanksi sosial yang akan diberlakukan salah satunya adalah, menonaktifkan nomor induk kependudukan (NIK) pasien TBC.

Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi mengimbau kepada masyarakat yang menderita penyakit TBC untuk segera berobat atau melakukan pengobatan rutin di fasilitas kesehatan (fasyankes) yang telah disediakan oleh pemkot. 

Tujuannya, agar penanganan penyakit TBC di Kota Surabaya dapat teratasi baik ke depannya. 

“Sudah tahu sakit kenapa tidak mau diobati, nggak mau menjaga dirinya, kalau itu (penderita TBC) berjalan kan bisa menular ke orang lain. Kita punya datanya, sehingga nanti kalau warga Surabaya memang dia sakit, kemudian tidak mau diobati ya sudah, kita bekukan KTP-nya,” kata Wali Kota Eri dikutip RMOLJatim, Senin, 28 April 2025.

Ketua Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (APEKSI) itu mengingatkan kepada masyarakat, berkaca dari penyakit Covid-19 yang sempat mewabah lima tahun lalu, jika tidak saling menjaga diri satu sama lain, maka TBC bisa menular cepat seperti virus Corona. 

“Kita kan harus menjaga diri kita, tapi jangan merugikan orang lain sehingga pada waktu Covid-19 itu kan ada yang pakai masker sehingga tidak menularkan orang lain. Lah sekarang (TBC), sudah sakit, tidak mau diobati, malah keliling, nah itu kan jadi membahayakan warga Surabaya lainnya,” ujarnya.

Maka dari itu, Eri menyampaikan, agar TBC tidak semakin meluas ke seluruh warga Kota Surabaya, pemkot akan memberikan sanksi sosial. 

Sanksinya, yakni penonaktifan NIK dan BPJS pasien TBC yang mangkir berobat.

”Ya (NIK dan BPJS) diberhentikan semuanya, termasuk kegiatan yang untuk adminduknya (administrasi kependudukannya) akan kita bekukan semuanya. Karena kan itu membahayakan warga semuanya, baru bisa aktif lagi ketika dia (pasien) mau berobat lagi, lalu mau sanksi apa yang akan kita berikan lagi? Kalau tidak mau berobat, kemudian menular ke warga lainnya kan jadi bahaya,” tuturnya. 

Sanksi ini diberlakukan berdasarkan Peraturan Wali Kota (Perwali) Nomor 117 Tahun 2024 tentang Penanggulangan TBC di Kota Surabaya. 

Tujuan diterapkannya perwali tersebut adalah untuk meningkatkan upaya percepatan eliminasi TBC di Kota Surabaya tahun 2030. 

Selain itu, aturan ini juga untuk memastikan masyarakat mendapatkan hak sehat melalui fasilitasi skrining TBC, baik di fasyankes dan mandiri, serta memastikan terduga penderita TBC mendapatkan pelayanan sesuai standar dan menurunkan angka drop out atau putus berobat.

ikuti terus update berita rmoljatim di google news