TOKOH bagi kebanyakan orang dipandang sebagai karakter panutan, baik dalam kontribusinya terhadap lingkungan sekitarnya, nasional, lebih jauh mendunia.
- Mantera 2022
- Nasib Politik Saat Ini Ditentukan Rezim dalam Berkoalisi
- Dukung Prabowo, Jokowi Pressure Megawati?
Tokoh juga bisa dimaknai sebagai seseorang atau sekelompok orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, yang diekspresikan melalui ucapan maupun tindakan.
Kira-kira begitulah menggambarkan tokoh dan ketokohan.
Di Indonesia, memasang foto tokoh tertentu konon menjadi mitos mendatangkan kebaikan dan rezeki.
Tokoh pun menjadi energi alternatif selain kerja keras yang dilakukannya. Ini menarik sebagai bagian dari fenomena klenik di era milenal zaman now.
Gaes pastinya tahu dong cerita rakyat yang sebagagian mempercayai kebenarannya, seperti cerita Siliwangi, nyai Roro Kidul, Sangkuriang, Malin Kundang, Maharbarata, Joko Tingkir, dan seterusnya.
Juga cerita tokoh nyata seperti Soekarno-Hatta (bapak proklamator), Soeharto (tokoh orde baru), Gus Dur atau KH Abdurrahman Wahid (tokoh NU), KH Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah) serta tokoh-tokoh lainnya yang masih banyak..
Ya, itu adalah tokoh yang sangat dihormati dan menjadi panutan bangsa Indonesia.
Lantas, kenapa Komisi Pemilihan Umum (KPU) melarang penokohan itu?
Saat ini, di Indonesia, negara yang kita cintai sedang berlangsung pesta demokrasi pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak, baik Pilbup, Pilwakot dan Pilgub.
Setahun kedepan tepatnya tahun 2019 berlangsung pemilihan presiden (Pilpres) dan pemilu legislatif.
Benar-benar tahun politik yang menguras energi dan pikiran.
Tentunya, untuk memenangkan pesta demokrasi itu, partai politik pun menggunakan segala cara membuat strategi pemenangan di pilkada serentak, pemilu legislatif dan Pilpres.
Tokoh ini pun menjadi sangat penting buat partai politik. Tokoh akan dimanfaatkan betul parpol, untuk menjadi magnet buat mendapat simpati masyarakat.
Ambil contoh, almarhum Presiden Soekarno menjadi magnet PDIP, Presiden Soeharto menjadi ikon Partai Golkar dan terbaru Partai Berkarya dan Presiden Abdurahman Wahid (Gus Dur) menjadi pencitraan buat PKB. Tegasnya tokoh-tokoh tersebut merupakan potensi suntikan massa yang besar.
Nah dengan peraturan baru itu, ketiga nama besar itu tidak bisa lagi nampil, karena KPU melarangnya.
Peraturan KPU (PKPU) No. 4 tahun 2017, melarang memasang gambar tokoh nasional sebagai alat peraga kampanye yang tidak ada kaitannya dengan partai.
Adalah PDIP yang protes keras larangan memasang foto tokoh-tokoh nasional saat kampanye ini.
Soalnya, Soekarno dianggap sebagai tokoh ideologis Banteng, jadi saat satu tokoh nasional yang dimaksud. Bagi PDIP, larangan ini sama saja dengan membunuh mereka.
"Bung Karno adalah PDIP, PDIP adalah Bung Karno. Ini seperti mencabut roh dari badan partai. Ya, itu adalah pembunuhan bagi PDIP," kata politisi PDIP, Eva Kusuma Sundari.
Bung Karno adalah panutan dan patron dalam partai. Bahkan dedication of life.
Memisahkan PDIP dengan Bung Karno melalui peraturan KPU, seperti pembunuhan terhadap PDIP yang sudah menempatkan posisi.
KPU tidak bergeming , parpol dilarang memasang gambar tokoh nasional yang bukan pengurus parpol dalam alat peraga kampanyenya.
"Itu tak diperkenankan ada dalam alat peraga kampanye. Bukan tidak suka. Bukan pengurus parpol sehingga tak boleh dalam alat peraga kampanye," kata Komisioner KPU RI Wahyu Setiawan
Pengecualian, jika tokoh nasional itu seperti Presiden RI ke-5 Megawati Soekarnoputri dan Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono.
Sebab, keduanya merupakan pimpinan parpol di Indonesia.
"(Megawati dan SBY) boleh, karena pengurus parpol. BJ Habibie tidak boleh, karena bukan pengurus parpol. Pak Soeharto tidak boleh, beliau bukan pengurus parpol," ucap Wahyu.
Bagaimana menurut gaes.
Apakah pelarangan tokoh dalam Alat Peraga Kampanye (APK) ini sebagai upaya KPU menyelamatkan masyarakat dari syirik politik.
Atau justu KPU ingin menyeimbangkan pertarungan pemilu dan pilkada.
Spertinya, semuanya masuk akal, bagi yang berakal. [***]
ikuti terus update berita rmoljatim di google news
- Memenangkan Kejujuran, Menggembirakan Keadilan
- Karpet Merah di Jakarta Bukan untuk Ridwan Kamil
- Artidjo Alkostar Sebuah Kitab Keadilan