Minimnya pengetahuan publik terhadap penegakan hukum membuka ruang terlalu lebar untuk legalisme autokratik di tengah masyarakat.
- Dokumen Jual Beli Lahan dan Alat Elektronik Diamankan KPK saat Geledah Kantor PTPN XI
- Terjebak di Mini Market, Pencuri Jadi Tontonan Warga
- Jaksa Merasa Tidak Perlu Tanggapi Eksepsi Istri Sambo Terkait Peristiwa Magelang
Demikian menurut pengamat hukum STH Jentera Bivitri Susanti saat menyampaikan pendapatnya ketika menyikapi hasil survei terkait penegakkan hukum yang dikeluarkan Lembaga Survei Indonesia (LSI) secara virtual, Minggu (24/7).
Bivitri mengurai banyak masyarakat yang masih menyangka bahwa polisi turut andil dalam memutuskan suatu perkara dalam survei LSI disebutkan sebanyak 10 persen dan ada yang tidak tahu.
Menurutnya, dalam temuan LSI ini didapati ternyata pengetahuan tentang lembaga penegak hukum sebenarnya rendah dan sebenarnya tidak tinggi.
Jika melihat dari sisi tugas kepolisian kelihatannya dari tingginya grafik ini seakan-akan tapi perhatikan bahwa ternyata dari segi pengetahuan cukup banyak 30 persen bahwa tidak tahu ternyata penyelidikan dan penyidikan perkara itu wewenang polisi penuntutan itu ternyata itu kejaksaan tapi yang tidak tahu ada 15 persen.
"Jadi buat saya ini sebenarnya menunjukkan fenomena bahwa pengetahuan tentang lembaga penegak hukum sebenarnya rendah. Tapi bacaan ini kurang penting, kalau kita tinggalkan begitu saja,” ucap Bivitri.
“Tapi refleksi lebih lanjutnya adalah ini sebenarnya membuka ruang yang terlalu besar untuk kita sebut dengan otokratik legalisme kurangnya pengetahuan tentang penegakan hukum itu sebenarnya membuka ruang terlalu lebar untuk legalisme otokratik,” imbuhnya.
Bivitri menuturkan dengan ketidakpahaman masyarakat terkait sistem dan prosedur penegakkan hukum tersebut, maka yang terjadi adalah legalisme otokratik.
Di mana, otokratik legalisi ini adalah yang diberi sesuatu berdasarkan hukum negara sehingga seakan-akan itu punya legitimasi hukum atau legal dengan menjadikannya legalisme.
Kemudian bahwa kedua hal waktu membentuk hukum mungkin undang-undang misalnya undang undang tidak dibuat untuk memecahkan akar masalah tapi untuk melegalkan praktik otokratisme.
“Otokratisme itu sederhananya kekuasaan yang di tangan satu orang yang berlawanan dengan demokrasi dan cenderung pada otoritarianisme,” ujarnya.
"Tapi Intinya saya ingin menjelaskan bahwa kenapa ini menjadi ruang yang terlalu besar karena tentu saja persepsi tentang lembaga hukum itu cenderung berdasar pada dua hal pertama informasi dari lembaga itu sendiri, dan juga akurasi dan banyaknya pemberitaan oleh media massa,”pungkasnya.
ikuti terus update berita rmoljatim di google news
- Kondisi Ekonomi yang Tidak Menentu dan Biaya Wisuda: Beban Tambahan bagi Masyarakat Menjelang Lebaran
- Sumardi Dorong OPD Pemprov Jatim Maksimalkan Pelayanan Meski Ada Efisiensi Anggaran
- Survei LSI: 77 Persen Masyarakat Percaya Hasto Terlibat Kasus Korupsi Harun Masiku