- Dari Akal Imitasi Menuju Kesadaran Buatan
- Pentingnya Memahami Abolisionisme Islam
- Metamorfosis Seni Persuasi Negeri Nipon
PEREMPUAN dalam kelompok ekstremis sering disepelekan media. Dianggap tidak memiliki kemampuan. Hal ini karena sebagian besar perempuan yang terlibat dalam organisasi jihad mengenakan jilbab lalu dianggap mahluk lemah. Media hampir selalu menggambarkan motivasi kekerasan perempuan sebagai reaksi terhadap peristiwa negatif yang pernah menimpa dirinya atau akibat pengaruh laki-laki. Pandangan semacam ini telah meluas dan lama mengendap dalam benak para analis kekerasan.
Pada tahun 2010 terjadi aksi bom bunuh diri di pelataran parkir subway mobil Moskwa. Dua orang pelaku adalah Djennet Abdurakhmanova dan Maryam Sharipova. Nyaris seluruh media mengaitkan aksi itu sebagai balas dendam Djennet Abdurakhmanova kepada pemerintah Rusia karena pada beberapa pekan sebelumnya Dinas Intelijen Rusia FSB telah membunuh Umalat Magomedov. Magomedov suami dari Djennet Abdurakhmanova.
Artinya, Djennet Abdurakhmanova mengalami radikalisasi saat suaminya masih hidup dan Djennet Abdurakhmanova dianggap hanya pion dari motif suaminya. Anggapan ini diperkuat pandangan sejumlah analis yang menganggap seorang perempuan berhijab dan telah bersuami sebenarnya kurang mempunyai otonomi individu serta cenderung tunduk total. Sehingga situasi perempuan seperti ini memberi keuntungan tersendiri bagi kelompok-kelompok jihadis.
Terutama untuk melakukan aksi ke lokasi-lokasi sulit yang enggan dilakukan jihadis laki. Maka, kelompok jihadis memanfaatkan perempuan ber-niqab untuk melaksanakan aksi tersebut. Aksi perempuan ber-niqab ini, urai penulis buku, memberi pesan kepada kaum jihadis laki, bahwa perempuan tersebut sesungguhnya menantang dominasi patriarkis lewat aksi kekerasan demi menegakkan keyakinan. Keberanian perempuan yang rela dan berani beraksi jelas menunjukkan bahwa dia bukan pion kaum laki-laki.
Fakta serupa juga terjadi pada kelompok-kelompok ekstremis lain seperti Faksi Brigade Merah di Jerman dan kelompok Brigade Merah di Itali. Banyak analis mengatakan, bahwa keterlibatan perempuan dalam aksi-aksi kekerasan dikarenakan para perempuan menjadi pion bagi laki-laki yang mengendalikan kelompok atau organisasi pro-kekerasan tersebut. Perempuan dianggap hanya mengikuti instruksi atau didorong lelaki yang berada dalam komunitas tersebut.
Beragam analis terorisme juga mengulas, bahwa keterlibatan perempuan dalam aksi kekerasan biasanya diawali dengan perbincangan antara laki dan perempuan dalam kelompok pro-kekerasan. Lelaki dalam kelompok tersebut bersifat dominatif dan acap menyatakan hal-hal yang romantis tapi manipulatif. Tujuannya, untuk merekrut perempuan yang berada dalam komunitas agar mau melakukan aksi kekerasan.
Pun banyak literatur rujukan untuk kajian-kajian kekerasan dan terorisme menyatakan bahwa perempuan adalah korban rekrutmen. Perempuan korban rayuan. Perempuan pasrah diradikalisasi. Namun, penulis buku ini menegaskan bawha semua pernyataan itu terlalu berlebihan dan bernuansa dominasi laki-laki. Padahal, motivasi untuk beraksi belum tentu sepenuhnya berasal dari pengaruh laki-laki.
Penulis mencontohkan kasus Hayat Boumedienne, janda dari Ahmedy Coulibaly. Hayat Boumedienne melakukan aksi serangan di sebuah supermarket di Paris pada Januari 2015. Ia sudah mengalami radikalisasi jauh sebelum ia menikah dengan Ahmedy Coulibaly. Fakta ini baru terungkap beberapa tahun usai serangan itu, dan fakta ini tentu saja menantang pandangan seksis selama ini, bahwa perempuan pion laki-laki.
Buku ini berisi lima bab plus pendahuluan dan kesimpulan. Mia yang kini aktif sebagai periset keamanan internasional di lembaga tangki pemikir New America telah mengumpulkan data yang sangat banyak tentang aksi kekerasan perempuan dan keterlibatan anak-anak. Dua hal itu menjadi fokus risetnya selama ini. Dan buku ini hasil evaluasinya terhadap keterlibatan perempuan dalam berbagai aksi kekerasan, bukan cuma aksi kekerasan bernuansa agama, tapi juga aksi kekerasan bermotif politik partisan.
Akhirulkalam, buku ini mempertanyakan asumsi umum selama ini, bahwa perempuan hanyalah pion laki-laki dalam berbagai aksi kekerasan. Perempuan bukan agency dalam aksi-aksi tersebut. Akibat asumsi ini adalah munculnya pertanyaan seputar kemandirian perempuan dalam bersikap yang pada gilirannya menempatkan perempuan sekadar ''budak'' laki-laki meski untuk melakukan aksi kekerasan atas nama kepatuhan serta ketundukan total. Ini yang hendak dikoreksi penulis buku.
Penulis adalah akademisi dan periset
ikuti terus update berita rmoljatim di google news
- Dari Akal Imitasi Menuju Kesadaran Buatan
- Pentingnya Memahami Abolisionisme Islam
- Metamorfosis Seni Persuasi Negeri Nipon