Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) digugat.
- Dimata Kaum Milenial, Jenderal Listyo Sigit Dianggap Mampu Nahkodai Polri
- Ferry Jocom Beri Uang Rp600 Ribu Tiap Orang Penjaga Gudang Tapi Ditolak
- Edhy Prabowo Ngotot Tak Bersalah Usai Didakwa Terima Suap Rp 27,5 Miliar
Adalah Tim Advokasi Pembela Kebebasan Pers yang menggugat Jokowi dan Kemenkominfo atas pemblokiran internet di Papua Papua Barat yang terjadi pada Agustus 2019 lalu.
Menurut Koordinator Tim Advokasi Pembela Kebebasan Pers, Muhammad Isnur, gugatan terhadap pemerintah ini merupakan kali pertama terjadi di Indonesia yang digelar di PTUN..
"Ini gugatan pertama di Indonesia yang menggugat perbuatan melawan hukum oleh pemerintah di PTUN," kata Isnur dilansir Kantor Berita Politik RMOL.
Tim advokasi pembela kebebasan pers sebagai penggugat dalam persidangan pokok perkara di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, Rawamangun, Jakarta Pusat, Rabu (22/1) itu menyebut pemerintah telah melanggar UUD.
"Kami mendalilkan ini melanggar hukum, melanggar UUD. Melanggar asas pemerintahan yang baik. Hari ini sidang perdana di mana hakim membacakan pokok-pokok gugatan kami," ujar Isnur seusai sidang perdana di PTUN Jakarta, Rabu (22/1).
Tim Advokasi Pembela Kebebasan Pers terdiri dari Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI), SAFEnet, LBH Pers, YLBHI, KontraS, Elsam, dan ICJR. Sidang dipimpin oleh Hakim Ketua Nelvy Christin.
Nampak hadir pihak Kemenkominfo sebagai tergugat I. Namun, pihak Jokowi sebagai tergugat II tidak terlihat.
Dalam gugatan, tim advokasi pembela kebebasan pers meminta pemerintah tidak mengulangi tindakan yang sama dalam memblokir dan memperlambat akses internet di Papua.
Karena itu, pihaknya meminta majelis hakim dalam putusannya menyatakan apa yang dilakukan tergugat I dan tergugat II melanggar hukum.
"Kami meminta PTUN menyatakan itu perbuatan melanggar hukum, melanggar HAM, cacat secara prosedur dan substansi atau kewenangan," tegas Isnur.
Sebelumnya diberitakan, pemerintah melakukan pelambatan internet pada 19 Agustus 2019 dan pemblokiran internet pada 21 Agustus di Papua dan Papua Barat. Pembatasan akses dilakukan dengan alasan untuk mengurangi penyebaran hoaks dan meminimalisasi penyebaran konten negatif yang dapat memprovokasi ketika terjadinya aksi massa di Papua.
Pihak kepolisian saat itu menyebut bahwa aksi anarkistis bisa lebih parah jika tak dilakukan pembatasan akses internet.
Anggota Tim Advokasi Pembela Kebebasan Pers, Putri Kanesia, menilai perlambatan akses internet di Papua dan Papua Barat pada Agustus 2019 membuat jurnalis mengalami kesulitan dalam memproduksi karya jurnalistik.
"Perlambatan internet membuat jurnalis yang ada di Papua tidak dapat memberikan informasi yang jelas kepada publik. Bukan hanya terhadap mereka yang di Papua, tetapi kepada seluruh warga yang berhak atas informasi yang benar," ujar Putri.
Ia mengatakan, perlambatan dan pemblokiran internet di Papua dan Papua Barat menjadi pelajaran penting bagi pemerintah. Pemerintah tidak dapat sembarangan melakukan pemadaman internet secara sepihak.
"Tapi kita juga sama-sama tahu, persoalan dengan pembatasan atau perlambatan internet ini justru menimbulkan banyak kerugian yang lebih besar dari sekadar hoaks," ungkap Putri.
ikuti terus update berita rmoljatim di google news
- JCW Anti Korupsi: Pantaskah Koruptor Dapat Grasi?
- Kejagung Periksa Tiga Petinggi BPJS Ketenagakerjaan Terkait Korupsi Dana Investasi
- Gazalba Saleh Jadi Tersangka Baru KPK, Ternyata Pernah "Sunat" Hukuman Edhy Prabowo