Perusakan Banner, Simbol Kerawanan Pilkada atau Ketidakdewasaan Politik?

Banner calon bupati Bangkalan/ist
Banner calon bupati Bangkalan/ist

Demokrasi adalah sistem pemerintahan yang menjunjung tinggi kebebasan dan kedaulatan rakyat, menuntut partisipasi aktif warga negara dalam proses politik, termasuk pemilihan umum.

Pilkada sebagai wujud nyata dari demokrasi di tingkat daerah diharapkan menjadi ajang perebutan kekuasaan yang sehat, penuh gagasan, dan berorientasi pada kemajuan bersama.

Namun, realitas di lapangan seringkali menunjukkan bahwa proses pilkada rentan terhadap berbagai bentuk pelanggaran dan tindakan yang merugikan demokrasi, salah satunya adalah pengerusakan alat kampanye.

Di Bangkalan baru-baru ini terjadi peristiwa pengerusakan banner milik salah satu pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati Bangkalan nomor urut 02, Mathur Husyairi dan Jayus Salam. Saat ini tengah menjadi sorotan publik.

Kejadian ini bukan hanya dapat mencoreng wajah demokrasi Bangkalan, tapi juga memunculkan pertanyaan mendalam: apakah ini sekadar aksi vandalisme yang dilakukan oleh oknum tidak bertanggung jawab, atau justru sebuah tanda kerawanan pilkada yang lebih besar?

Apakah insiden ini juga dapat diartikan sebagai ketidakdewasaan politik masyarakat dalam menghadapi perbedaan pandangan dan pilihan politik?

Pengerusakan banner, sekilas tampak sebagai tindakan kecil yang mungkin hanya dianggap sebagai bentuk vandalisme biasa. Namun, di balik peristiwa ini tersembunyi potensi bahaya yang mengancam integritas pilkada dan demokrasi Bangkalan secara keseluruhan. 

Pengerusakan banner bisa menjadi indikator dari persaingan politik yang tidak sehat dan berpotensi memicu permusuhan di antara para pendukung calon.

Kejadian ini menandakan adanya potensi konflik terbuka yang dapat meluas dan berujung pada  kerusuhan atau kekerasan fisik. Atau mungkin ada pihak-pihak lain yang sengaja menjalankan aksi adu domba untuk memantik sebuah konflik lebih krusial.

Tindakan pengerusakan seringkali dipicu oleh  polarisasi politik yang tajam dan menghasilkan  perbedaan pandangan yang sulit didamaikan.  Ketegangan antar kelompok pendukung calon  bisa mengalami eskalasi dan memicu tindakan  yang merugikan demokrasi.

Terjadinya pengerusakan terhadap properti milik kelompok lain tidak hanya menunjukkan kerawanan pilkada, tetapi juga mencerminkan ketidakdewasaan politik.

Tindakan ini mengindikasikan bahwa masih ada sekwlompok makhluk yang belum memahami  esensi dari demokrasi, khususnya dalam hal  menghormati perbedaan dan menjalankan  proses politik dengan beradab.

Tindakan destruktif semacam itu menunjukkan  ketidakmampuan dalam mengelola perbedaan  pandangan dan pilihan politik secara  konstruktif.  Kurangnya toleransi dan rasa hormat terhadap golongan lain bisa mengarah pada tindakan  yang merusak demokrasi.

Pengerusakan atas properti milik kelompok lain juga mengindikasikan kurangnya partisipasi  politik yang bermakna dan bertanggung jawab.  Partisipasi politik yang hanya terbatas pada  mencoblos di hari pemilihan tidak cukup untuk  menjamin demokrasi yang sehat.

Peristiwa perusakan alat kampanye menunjukkan kecenderungan mengutamakan ego sektoral dan  kelompok ketimbang kepentingan bersama.  Ketika sebagian masyarakat lebih  mengutamakan kepentingan politik kelompoknya  dibanding menjaga demokrasi, maka tindakan  yang merusak demokrasi bisa terjadi.

Kedewasaan politik menuntut setiap individu  untuk menempatkan kepentingan bersama di  atas kepentingan kelompok dan menghormati  perbedaan pendapat. Kedewasaan politik  menuntut masyarakat untuk menerima  perbedaan pendapat dan menghormati hak  orang lain untuk memilih calon yang berbeda.

Perusakan banner, selain menjadi tanda kerawanan pilkada dan ketidakdewasaan politik, juga merupakan peringatan bagi semua pihak untuk meningkatkan kesadaran politik dan  bersama-sama menjaga integritas pilkada.

Pemerintah daerah, lembaga pendidikan, dan  organisasi masyarakat perlu bersinergi untuk  meningkatkan kesadaran politik masyarakat.

Program pendidikan politik yang komprehensif  dan menjangkau semua kalangan perlu dilakukan untuk meningkatkan pemahaman tentang demokrasi, peran masyarakat dalam pilkada, dan etika politik.

Etika politik mengajarkan untuk bersaing secara  sehat, menghormati lawan politik, dan  menjalankan proses politik dengan beradab.

Selain mereka, media massa memiliki peran  penting dalam menciptakan suasana pilkada  yang kondusif dan menumbuhkan toleransi antar  pendukung calon.

Media perlu menjalankan perannya secara  profesional dan bertanggung jawab dengan  menghindari berita hoaks, provokatif, dan SARA.

Media juga perlu memberikan ruang yang  seimbang bagi semua calon untuk  mengungkapkan visi dan misi serta menjalin  dialog dengan masyarakat.

Mendukung kelancaran dan ketertiban pelaksanaan gelaran pemilukada, aparat penegak hukum perlu menjalankan tugasnya secara  profesional dan tegas dalam menangani pelanggaran pilkada, termasuk tindakan pengerusakan alat kampanye. 

Aparat penegak hukum harus menegakkan  hukum tanpa pandang bulu dan menghukum  pelaku pelanggaran pilkada sesuai dengan  hukum yang berlaku.

Keterlibatan tokoh masyarakat dan pemuka agama memiliki peran penting dalam  menciptakan suasana pilkada yang kondusif dan  mendorong masyarakat untuk berpartisipasi  secara aktif dan bertanggung  jawab.

Tokoh masyarakat dan tokoh agama perlu  mengajak masyarakat untuk menghormati  perbedaan pendapat, menjunjung  tinggi nilai-nilai demokrasi, dan menjalankan pilkada dengan  beradab.

Tokoh agama wajib dapat menjadi anutan umat agar tak sesat dalam menjalankan kewajibannya dalam menunaikan hak pilih. Tokoh agama sebisa mungkin mengambil jarak untuk tidak menjadi kompor politik.

ikuti terus update berita rmoljatim di google news