. Rencana
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) melakukan Peninjauan Kembali (PK) terhadap putusan
Mahkamah Agung tentang swastanisasi air dipertanyakan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi).
- 60 Persen Narapidana Di Jatim Dapatkan Remisi Idul Fitri, Negara Hemat Rp7,7 Miliar
- Kanwil DJP Jatim II Serahkan Dua Tersangka Penggelapan Pajak Rp 1,9 M ke Kejari Sidoarjo
- Isteri Tukang Becak Dipolisikan, Lalu Diperas Oknum Aktivis
Walhi menilai kementerian yang dipimpin Sri Mulyani Indrawati gagal memahami amanat konstitusi.
"Argumentasi dalam mengajukan PK tanpa menyodorkan novum (bukti baru), dan hanya mempertanyakan kategori jenis gugatan citizen lawsuit, menunjukkan pendekatan Kemenkeu tidak substantif. Lebih jauh lagi, hal itu menunjukkan kegagalan memahami amanat konstitusi," kata Manajer Kampanye Pangan, Air dan Ekosistem Esensial, Eksekutif Nasional Walhi, Wahyu A. Perdana, melalui pesan elektronik kepada redaksi, Minggu (6/5).
Dikatakan dia, secara jelas dalam UUD 1945 yang juga dikutip dalam putusan MA terkait putusan judicial review Undang-Undang SDA, dikenal 'pembatasan terkait hak rakyat atas air'. Diantaranya, menyebutkan hak rakyat atas air harus memperhatikan kelestarian lingkungan hidup, serta sebagai cabang produksi penting yang menyangkut hajat hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara.
"Dan air yang menurut Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat maka pengawasan dan pengendalian oleh negara atas air sifatnya mutlak," imbuh dia.
Dua persoalan mendasar lainnya dari pengajuan PK oleh Kemenkeu, lanjut Wahyu, mengabaikan fakta pemenuhan hak rakyat atas air. Dia menegaskan bahwa tidak ada korelasi pengelolaan swasta dengan ketersediaan air bagi rakyat.
"Faktanya, berdasar profil kesehatan 2016 oleh Kementerian Kesehatan, di Jakarta 72,31 % sumber air minum utama menggunakan air kemasan bermerk, dan hanya 12,90 % yang menggunakan leding meteran dan leding eceran," beber Wahyu.
Ketiga, swastanisasi air di Jakarta menimbulkan kerugian negara sebagaimana disebutkan dalam putusan MA, dengan membebankan tanggung jawab defisit (shortfall) akan berakibat membebani keuangan negara (APBD/APBN) yang menimbulkan kerugian publik.
"Dalam putusan MA disebutkan keseluruhan hutang shortfall yang menjadi beban hingga tahun 2010 saja mencapai Rp 583 miliar," tukas Wahyu.
Rencana melakukan PK disampaiakn Kementerian Keuangan melalui Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi. PK dilayangkan atas putusan Mahkamah Agung tentang swastanisasi air Nomor 31 K/Pdt/2017, yang dikeluarkan April 2017. Gugatan sebelumnya diajukan 12 anggota "Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta" dengan Kementerian Keuangan sebagai salah tergugat, dan turut tergugat PT PAM Lyonnaise Jaya (PALYJA) dan PT Aetra Air Jakarta (AETRA).[dzk]
ikuti terus update berita rmoljatim di google news
- Kerugian Keuangan Negara Harus Faktual Dalam Kasus Asabri
- Kasus Firli Bahuri, Hari Ini Polisi Periksa Mantan Wakil Ketua KPK Saut Situmorang di Bareskrim
- Ketagihan Judi Slot, Pegawai Bank di Pacitan Tilep Uang Nasabah Rp 1,2 Miliar