- Paranoid Aktor Negara Mengawasi Warga
- Mengulas Kembali ''Pergerakan Merah'' Hindia Belanda
- Warga Butuh Ruang Publik yang Bebas
BELAKANGAN ini generasi yang lahir dari tahun 1997 sampai 2012 telah menjadi bagian dalam riset-riset politik. Jika usia 17 tahun dianggap sebagai usia kematangan berpolitik, dan itu artinya mereka yang lahir pada 1997 bisa dianggap sebagai insan politik sejak tahun 2014. Maka, pada tahun-tahun sesudah 2014, kian banyak generasi yang akrab disebut ''Gen Z'' boleh dianggap sebagai insan politik.
Dibanding generasi sebelumnya, Gen Z merupakan generasi yang tumbuh-kembang bersama perkembangan pesat jagat digital. Beragam aplikasi muncul mengiringi kebutuhan Gen Z untuk bersosialisasi. Berinteraksi secara cepat, instan, tanpa halangan, menjadi ciri generasi ini. Mereka piawai mengolah informasi menjadi data, tangkas memakai beragam aplikasi penunjang keseharian. Bahkan, punya keunikan berpolitik.
Melissa Deckman, gurubesar ilmu politik di Washington College, secara seksama mencermati perkembangan Gen Z dan bagaimana Gen Z mengekspresikan hasrat politiknya dalam demokrasi. Bukan terjebak ke dalam demokrasi prosedural, seperti keterlibatan mereka sebagai pemilih pemula sejak tahun 2014, melainkan yang juga penting untuk diperhatikan adalah respon mereka terhadap isu-isu global. Misal, isu perilaku aparat yang lamban menangani perkara hukum yang terjadi di suatu negara, ternyata juga direspon oleh Gen Z dari negara berbeda.
Temuan dalam buku ini menunjukkan Gen Z mengaku butuh dukungan keluarga dan kerabat tatkala terjun ke politik. Meski, mereka tetap mampu menjaga independensi serta membedakan isu-isu politik mana yang perlu dibela, dan yang lain tidak. Keberpihakan Gen Z pada isu tertentu biasanya diekspresikannya lewat media sosial. Mereka terhubung satu sama lain lewat hastag tertentu, kosa kata politik mereka sangat khas. Ringan, sederhana, mengena dan tidak njlimet. Seperti, di Indonesia, ada diksi ''gamon'', gagal move on. Ditujukan pada mereka yang tak bisa menerima realita politik.
Sepanjang tujuh bab, penulis buku ini mengajak para pembaca benar-benar menyelami dunia Gen Z. Jika generasi sebelumnya cenderung menjadikan politik sebagai arena tertutup untuk memproduksi kebijakan, maka pada era Gen Z muncul desakan agar politik menjadi arena terbuka. Siapapun yang berada di atas panggung kekuasaan harus berani menghadapi sorotan Gen Z jika terjadi ketidakberesan apalagi penyimpangan.
Isu efektivitas sekaligus efisiensi juga menguat dalam nuansa politik Gen Z. Mereka tak segan-segan mengkritik kecenderungan elit pamer jabatan, pamer kuasa apalagi pamer harta. Jangan coba-coba membela diri jika sudah diserbu kritik tajam Gen Z, sebab dalih apapun untuk menutupi ketidakberesan akan mudah rontok berkat keterampilan Gen Z berselancar menemukan kerapuhan dalih terkait. Itulah sekelumit ekspresi politik Gen Z, generasi yang punya kesadaran politik tapi ogah vulgar.
*Periset asal Surabaya
ikuti terus update berita rmoljatim di google news
- Paranoid Aktor Negara Mengawasi Warga
- Mengulas Kembali ''Pergerakan Merah'' Hindia Belanda
- Warga Butuh Ruang Publik yang Bebas