- Ayat Tanah di Lingkar Kuasa Oligarki
- Tarif 84 Persen, Dunia pun Tertawa
- Bangun, Indonesiaku, Sebelum Jadi Fosil Sejarah
MARI kita tengok sejenak ke Turki, negeri yang mungkin terasa jauh secara geografis, tapi begitu dekat dalam ikatan kesejarahan dengan kita. Kunjungan Presiden Prabowo Subianto ke Turki pekan lalu memperkokoh hubungan kedua negara yang telah lama terjalin sejak era Kekhalifahan Utsmaniyah.
Ketika Turki “bersin”, sebagian dari kita ikut merasa pilek --begitulah kedekatannya. Maka ketika gelombang demonstrasi besar-besaran mengguncang berbagai kota di Turki, kita bertanya: ada apa gerangan? Apalagi penyebabnya “hanya” pencopotan seorang wali kota dengan tuduhan terorisme.
Di sinilah kita berkenalan dengan konsep kayyum atau qayyum, sebuah istilah yang dalam hukum sipil Turki semula digunakan untuk menunjuk wali atas aset orang yang meninggal atau hilang. Namun di tangan pemerintahan Recep Tayyip Erdo?an, kayyum menjelma menjadi alat politik yang efektif.
Kini, ia menjadi mekanisme legal yang memungkinkan pemerintah mencopot walikota yang tidak sejalan, lalu menggantikannya dengan pejabat yang loyal kepada rezim. Sejak 2016, lebih dari 150 walikota hasil pemilu dicopot dengan tuduhan samar terkait terorisme, dan digantikan oleh kayyum yang ditunjuk langsung pemerintah pusat.
Ada yang menyebut ini demokrasi ala sulap. Seorang walikota bisa lenyap seketika, digantikan oleh kayyum --walikota bayangan yang diturunkan dari langit kekuasaan pusat. Kalau ini bukan sihir, maka setidaknya ini seni politik tingkat tinggi --sebuah inovasi dalam pengelolaan hasil pemilu yang mungkin layak dipatenkan.
Fenomena kayyum bukan sekadar anomali, melainkan bagian dari strategi bertahan hidup rezim. Seperti pemain catur yang sadar akan skakmat, langkah darurat pun diambil: papan diputar, pion lawan disingkirkan, dan permainan berlanjut seolah tak terjadi apa-apa --karena hanya satu pihak yang boleh menang.
Padahal kayyum dulunya hanyalah mekanisme hukum untuk mengurus aset orang yang telah tiada atau perusahaan bermasalah. Tapi sejak 2016, fungsinya meluas. Pemerintah, dengan dalih memerangi terorisme, mulai mengganti walikota yang tak sehaluan dengan pusat.
Pendukung kebijakan ini berargumen bahwa langkah ini demi stabilitas nasional. Logikanya sederhana: jika demokrasi melahirkan pemimpin yang salah, maka lebih baik tidak mengambil risiko. Di satu sisi, pemilu tetap digelar. Di sisi lain, hasilnya bisa dianulir kapan saja.
Kebijakan ini menciptakan struktur kekuasaan yang makin sentralistik dan sulit disentuh. Walikota yang dicopot sering kali bahkan tak diberi kesempatan membela diri. Mereka langsung digantikan oleh kayyum yang, kebetulan, lebih ramah terhadap garis kebijakan pemerintah pusat.
Namun keberadaan kayyum bukan hanya soal politik, tapi juga ekonomi. Dengan menempatkan orang kepercayaan di posisi strategis, rezim bisa memperluas jaringan patronase, memastikan proyek-proyek jatuh ke tangan yang “benar”, dan tentu saja, menjaga roda ekonomi-politik tetap berputar.
Yang menarik, semua ini dilakukan tanpa membatalkan pemilu. Rakyat tetap datang ke TPS, mencoblos, dan berharap suara mereka dihitung jujur. Tapi, seperti pemain kasino yang terus kalah, mereka akhirnya sadar: pusatlah yang selalu menang.
Lambat laun, harapan terhadap demokrasi memudar. Mereka hanya punya tiga pilihan: tetap setia pada oposisi meski tahu hasilnya bisa dianulir, berhenti memilih sama sekali, atau berpindah haluan demi kenyamanan hidup.
Pertanyaannya kini: bagaimana masa depan demokrasi Turki dalam sistem seperti ini? Akankah rakyat terus bermain dalam permainan dengan aturan yang berubah-ubah? Ataukah mereka akan menemukan cara baru untuk menuntut hak mereka?
Sejarah mengajarkan, demokrasi tak bisa dibungkam selamanya -- cepat atau lambat, suara rakyat akan menemukan jalannya kembali. Namun untuk saat ini, demokrasi di Turki tampaknya masih berlangsung, meskipun pengendali kayyum yang memegang kunci alarmnya.
*Penulis adalah Pemerhati Kebangsaan, Pengasuh Pondok Pesantren Tadabbur Al Quran
ikuti terus update berita rmoljatim di google news
- Ayat Tanah di Lingkar Kuasa Oligarki
- Tarif 84 Persen, Dunia pun Tertawa
- Bangun, Indonesiaku, Sebelum Jadi Fosil Sejarah