- Paranoid Aktor Negara Mengawasi Warga
- Mengulas Kembali ''Pergerakan Merah'' Hindia Belanda
- Warga Butuh Ruang Publik yang Bebas
SELAMA dua dekade sejak peristiwa 9/11 di New York, AS, muslim menjadi target. Sasaran untuk dicurigai, bidikan untuk dikejar. Bahkan sampai melampaui batas wilayah geografis AS. Pasukan AS dikerahkan untuk masuk wilayah Afghanistan, merangsek masuk wilayah Iraq. Presiden AS ke-43 George Bush tak peduli sorotan internasional terhadap invasi AS bertajuk Operation Enduring Freedom yang digelar pada 7 Oktober 2001. Tujuan operasi hanya satu, perang melawan Al Qaeda di Afghanistan. Sejak saat itu, dunia kian heboh. Terorisme menjadi isu utama.
Di dalam negeri, pemerintah AS segera mengaktifkan seluruh lembaga keamanan dalam negeri. Bush menanda-tangani Patriot Act pada 26 Oktober 2001. Undang-undang ini bentuk respon AS terhadap serangan 9/11. Setahun kemudian, pada 25 November 2002, AS membentuk Departemen Keamanan Dalam Negeri. Sejumlah lembaga pemerintah AS bergabung ke dalam Department of Homeland Security (DHS) ini. Diantaranya, bea cukai AS, FEMA, TSA, Secret Service dan Penjaga Pantai.
Hanya dalam hitungan jam, FBI bisa mengidentifikasi 19 teroris di balik serangan 9/11. Selain itu, FBI menggeser peran agen-agennya di lapangan dari sekadar kerja-kerja investigasi kriminal murni ke kerja-kerja kontra-terorisme serta kontra-intelijen. Diantara kerja kontra-terorisme FBI adalah mengidentifikasi calon tersangka teroris, mencegah dan menganalisa informasi lapangan. Serangkaian penangkapan pun dilakukan terhadap mereka yang diduga teroris.
Poster wajah teroris disebar ke berbagai tempat. FBI telah melakukan penyebaran poster-poster seperti itu sebenarnya sejak tahun 1950. Usai FBI membentuk program Most Wanted (Paling Dicari). Poster ini menjadi sarana untuk klasifikasi dan kategorisasi. Informasi sosok yang tercantum pada poster tertulis lengkap. Mulai dari nama, kewarganegaraan, sampai terakhir sosok tersebut berada.
Bagi Atiya Husain, penulis buku ini, konten poster itu bersifat ideologis. Pendapat ini tentu tidak sembarangan, apalagi dikemukakan oleh seorang mahaguru kajian yang sangat spesifik, yakni posisi muslim kulit hitam di AS. Husain adalah profesor African Studies di William College, dan ia menulis sejumlah artikel tentang etnik dan ras di sejumlah jurnal.
Dalam buku ini, Husain berteori tentang ras sebagai epistemologi dengan menggunakan daftar Teroris Paling Dicari FBI pasca-9/11 dan poster-poster FBI sebagai titik awal pembahasan. Husain melacak sampai ke abad ke-19, saat ilmuwan sosial Adolphe Quetelet menggulirkan konsep ''Average Man''. Konsep ini bertumpu pada rata-rata statistik suatu populasi untuk beragam karakteristik fisik dan sosial. Pada hakikatnya seseorang yang memiliki nilai rata-rata tinggi badan, berat badan, kecerdasan, moralitas, dan sifat-sifat lain dalam suatu kelompok tertentu, yang dianggap oleh Quetelet sebagai manusia ideal atau "normal" dengan penyimpangan minimal dari nilai rata-rata. Quetelet meyakini, kajian terhadap ''Average Man'' bisa menunjukkan tren sosial dan pola di dalam masyarakat.
Konsep Quetelet itu yang mendasari penerbitan poster-poster FBI. Wabil khusus, poster-poster yang memajang wajah-wajah teroris yang disebar FBI ke seluruh pelosok AS. Poster-poster itu selalu tertulis daftar ''Most Wanted Terrorist'' (MWT). Daftar ini pertama kali disebut oleh Presiden George Bush pada Oktober 2001. Itulah awal pertama kali daftar terorisme dari program FBI, yang kemudian berlanjut dengan pencarian informasi terorisme pada tahun 2002, kemudian penetapan terorisme domestik pada tahun 2006.
Nama-nama yang tercantum dalam daftar MWT itu menjadi acuan untuk pengawasan domestik. Sekaligus juga rujukan bagi pemerintahan Bush guna melancarkan invasi ke Afghanistan dan Iraq. Dan dunia pun memasuki era ''War on Terror'' selama bertahun-tahun kemudian. Ciri-ciri orang yang dicurigai sebagai teroris juga mengacu pada daftar MWT tersebut. Misalnya, berjenggot, berkumis, wajah Arab/Timur-Tengah, rambut hitam, mata tajam, jidat hitam. Siapapun di negara-negara yang ikut dalam arus ''War on Terror'' juga mengacu pada ciri-ciri tersebut. Poster FBI laris manis.
Daftar MWT adalah prioritas pemerintahan Bush. Suasana domestik AS pelan namun pasti dilanda saling curiga. Warga berciri Kaukasia, kulit putih, mencurigai warga kulit berwarna. Terutama, kecurigaan tertuju pada warga kulit hitam. Situasi saat itu sedikit mencekam di AS. Menjadi muslim bisa-bisa sekaligus menjadi tertuduh.
Akhirulkalam, buku ini menunjukkan bagaimana produk ilmu pengetahuan pada gilirannya menjadi sarana pemojokan, persekusi bahkan tuduhan. Kategorisasi dan rasialisasi yang tampil dalam poster dari aparat penegak hukum justru memantik pertikaian diam-diam antar warga. Poster menjadi acuan memojokkan warga yang diduga radikal atau teroris.
*Penulis adalah akademisi dan periset
ikuti terus update berita rmoljatim di google news
- Paranoid Aktor Negara Mengawasi Warga
- Mengulas Kembali ''Pergerakan Merah'' Hindia Belanda
- Warga Butuh Ruang Publik yang Bebas