SEPEKAN terakhir, rekor penambahan pasien Covid-19 terus terjadi. Kok bisa? Karena kegagalan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) itu jelas sekali terlihat di depan mata. Sama seperti Pembatasan Sosial (PSBB) dulu. Gagal total.
Ada tiga alasan kegagalan PPKM:
1.Hukum Tidak Tegak
Bagaimana kamu mau menyuruh masyarakat disiplin, jika hukum tidak tegak.
Ironisnya, hal ini dipertontonkan secara terbuka, terang-terangan.
Tengok saja para pejabat secara beramai-ramai berfoto-foto dengan melepaskan maskernya. Begitu juga yang dilakukan kalangan artis.
Nah giliran pedagang sate buka warungnya melebihi jam 7 malam, langsung dimarahi. Kacau.
Kalau elu mau bikin rakyat menuruti aturan, hukum tegakkan. Tidak pandang bulu. Tidak boleh pilih kasih.
Sayangnya hukum ditafsirkan semau-maunya. Belum lagi aparat saat menertibkan, dia sendiri yang melepas masker alias melanggar protokol kesehatan (prokes) dan lain-lain.
2. Strategi Tidak Jelas
Dari awal, strategi kita itu apa sih melawan pandemi? Lockdown tidak. Tidak lockdown, nyatanya ada lockdown-lockdown-an. Semua serba tanggung.
Lockdown total nggak berani, nggak punya duit, lebih sayang ekonomi. Eh, nggak di-lockdown, situ cemas pula lihat data-data penderita, tetap juga akhirnya bikin PSBB, PPKM, dan lain-lain. Nanggung.
3. Elu Plintat-plintut, Eh Nyalahin Rakyat
Ini yang menyakitkan sekali. Dulu siapa yang menyuruh berdamai dengan Corona? Rakyat sudah berdamai, memeluk erat, sekarang elu panik melihat penderita terus bertambah menggila.
Sorry, ada puluhan, bahkan ratusan pernyataan pejabat pemerintah yang bertolak belakang soal penanganan pandemi ini.
Ingat? Dulu ada menteri yang berisik sekali soal ekonomi, wisata. Eh, belakangan dia yang panik bikin peraturan perjalanan darat, dan lain sebagainya.
Tiga faktor ini, cukup sudah bikin rakyat malas. Dan saat mereka malas, kita berharap rakyat akan menahan diri? Membatasi aktivitas dan lain-lain?
Lah, kamu sendiri pas pilkada, dipaksa terus. Rakyat butuh makan, mereka butuh beraktivitas, dan lain-lain.
Lah, kamu cuma butuh jabatan, kekuasaan yang sebenarnya 'ujian dunia', berebut, dan jalan terus. Apalagi rakyat yang pusing bayar kontrakan, susu anak, dan lain-lain.
Siapapun pejabat yang menyalahkan rakyat atas tidak efektifnya PPKM ini, maka suruh pejabat itu ngaca. Berhentilah hidup halusinasi. Negeri ini masih bertahan, dan terlihat seolah baik-baik saja, simpel karena hutang terus bertambah. Utang, utang, utang. Hanya itu solusi mereka. Termasuk menghadapi pandemi.
Hampir setahun. Tidak ada perubahan signifikan. Dulu ada yang mengoceh bilang kapasitas layanan kesehatan tidak terbatas. Lah, buktikan dong. Bergegas bikin, tambah layanannya. Uangnya tidak ada? Kan tinggal utang.
Rakyat diharap mengurangi aktivitas? Disuruh mengurangi mobilitasnya? Sorry, coba kamu mulai dari kamu sendiri deh, tuan, nyonya.
Kamu juga tetap berkeliaran kemana-mana. Ada yang rapat di Bali (padahal Jakarta bisa). Ada yang kunjung sana, kunjung sini, padahal live zoom juga bisa. Kamu mah enak, pesawat, hotel, test swab, dibayarin semua.
Lah rakyat? Mau jualan nasi goreng malam-malam saja susah.
Serius. Sedikit-sedikit menyalahkan rakyat. Sedikit-sedikit yang salah rakyat.
Lah, elu? Elu sudah benar semua? Sudah tahu jadi pejabat susah, lihat pilkada, rebutan. Bila perlu singkirkan yang lain biar anak, menantu, cucu, keponakan, bisa dapat rekomendasi parpol.
Tere Liye
Penulis novel 'Negeri Para Bedebah'
ikuti terus update berita rmoljatim di google news