LAGU lama berjudul "Sesalku" yang dibawakan penyanyi jazz, Rieke Roeslan, terdengar pelan, memecah keheningan malam.
Tak terasa, sudah diputar berkali-kali oleh Setyo. Dia terus mengulangnya hingga malam larut.
Ya, Setyo terlihat merebahkan dirinya, duduk di kursi bambu, malam itu. Sejak magrib tadi, dia enggan bergerak. Terus memandang langit langit rumahnya, yang terlihat gelap.
Tangan kanannya memegang dagu. Sesekali, dia menghisap rokok, lalu meminum kopi pahit dalam gelas kaca yang sejak sore tadi menemaninya.
Tak lama kemudian, Setyo mengambil ponselnya. Dia memandang jam dinding bulat yang jarumnya, menunjuk angka 12.
Sambil menatap ponsel, dia pun mengetik beberapa kalimat.
"Selamat ulang tahun, Nduk. Semoga diberikan berkah dan panjang umur. Amin," bunyi tulisan itu.
Dia langsung mengirim pesan singkat tersebut ke akun whatssup, sms dan telegram, Rahmi. Wanita yang sangat dicintainya, selama bertahun tahun.
"Opo kowe moco sms sms yo nduk," ucap Setyo dalam hati.
"Piye saiki kabarnmu, wong ayu," bisiknya lagi.
"Semoga sampeyan sehat terus," jawab Setyo dalam hati lagi.
Ya, sejak sore, ingatan Setyo seakan kembali ke masa lalu. Dia terus memikirkan keadaan wanita bermata tajam, sayu, anggun dan penuh karakter itu. Rahmi namanya.
Wanita asal luar jawa, yang sejak lama merantau di Jakarta. Wanita yang telah meluluhkan hatinya, hingga lumer, seperti eskrim.
Wanita yang membuat telinganya berdengung. Suara Rahmi yang besar dan terdengar merdu itu terus menggema di telinga Setyo.
Seakan, setiap hari, suara itu terus mengisi seisi rumah mungil berdinding bambu, di tepi hutan itu.
Dengan mata setengah terpejam, Setyo mendengarkan lagi, kalimat yang diucapkan Rahmi, beberapa tahun lalu.
"Kamu nanti akan tenggelam lho mas."
"Kamu akan seperti kerbau yang dicocok hidungya."
Kalimat yang terucap dari bibir mungil Rahmi, beberapa tahun lalu itu, ternyata membuat Setyo tersenyum.
Karena, kadang terus terdengar dalam keheningan. Meski menepi di hutan, tapi Setyo sepertinya tak benar benar melupakan wanita yang pesonanya menusuk jantung hatinya itu.
"Kowe bener paling nduk, masmu iki wis tenggelam di dasar," kata Setyo lirih, sambil membenarkan pecinya yang miring ke kiri.
Setyo terus memandang layar ponsel, dengan nama Rahmi yang masih memutih.
"Semoga aku bisa ngimpi kowe nduk, aku kangen," katanya sambil tersenyum kecil.
Ya, waktu sudah menunjukkan jam 00.15 dinihari. Memasuki pertengahan Januari, 2025. Hari ini adalah ulang tahun Rahmi, yang terus diingat Setyo.
"Kowe saiki pasti sik pancet ayu," kata Setyo dengan nada agak keras.
Mendengar kata itu, Pak Mukhari yang hari ini ikut tidur di rumah Setyo pun terbangun. Dan menyahut agak keras.
"Ngomong karo sinten sampyan mas!"
"Pun peyan ndang tilem. Ojo sampe ngelindur mergo mikir cah kae mas. Abot tenan," kelakar Pak Mukhari.
"Nggeh niki pak, senine wong jatuh cinta," balas Setyo sedikit menyanggah, sambil tersemyum dan melipat sedikit sarung yang dikenakannya.
Ya, malam itu Setyo kembali mengingat Rahmi. Mulai dari suaranya. Tatapan matanya. Kecerdasannya, hingga sifat Rahmi yang kadang egois dan sangat jaim.
Ya, sejak memutuskan berganti profesi sebagai petani kopi, Setyo sehari hari sering menghabiskan waktu di kebun.
Bahkan, dia bisa setiap minggu menyalurkan hobinya untuk mendaki ke gunung Anjasmoro. Terkadang, dia berhari hari menyendiri di hutan, dengan membawa bekal seadanya.
Rahmi seakan mengubah 90 persen hidup Setyo. Dia berfikir, dengan menjauh akan berdamai dengan hatinya.
Terkadang, seminggu sekali dia pergi. Meninggalkan perkebunan, untuk menengok ibunya yang sudah menua.
Setyo sendiri pernah berjanji akan mendatangi Rahmi, ketika semua sudah normal.
"Opo aku kudu mrono ketemu kamu ya nduk," batin Setyo.
"Wis mas, parani wae. Silaturahmi. Tanya kabar, sekalian dolan neng Jakarta refresing," Pak Mukhari tiba-tiba menyahuti.
Rupanya, bisikan batin Setyo itu terdengar agak keras.
"Nggeh pak, kulo tak mriko," jawab Setyo sambil menghabiskan kopinya.
"Peyan mas, nggah nggeh mawon. Tapi boten pernah kelakon," jawab Pak Mukhari sambil terkekeh.
Mereka pun berbincamg malam itu. Sekali kali, tawa keduanya terdemgar lepas, memecah keheningan malam.
Semenjak menepi di lereng Anjasmoro untuk menjadi petani kopi, Setyo banyak dibantu Pak Mukhari.
Setyo seakan sudah menganggp Mukhari sebagai ayah angkatnya. Kadang Setyo mencurahkan keluh kesah yang dipendamnya.
Bagi Setyo, Mukhari bukan hanya pekerja. Tetapi seperti sahabat. Meski keduamya terpaut usia yng cukup jauh.
Malam semakin larut. Bahkan, sudah beranjak dini hari. Udara pegunungan pun menjadi kian dingin.
Pak Mukhari menyalakan api di tungku, untuk sekadar menghangatkan ruangan itu.
Tak lama kemudian, Setyo pun beramjak dari kursi bambu. Dia berdiri dan mengambil senter. Lalu membuka pintu depan rumahnya.
"Ten pundi mas. Niki pun dalu," tanya Pak Mukhari.
"Ten samping nggriyo pak," jawabnya.
Setyo pun bergegas pergi ke samping rumah. Memasuki bangunan kecil beratap plastik transparan. Di lalu menyalakan lampu.
"Byar"
Aroma wangi aneka macam bunga langsung dihirup pria paruh baya itu. Di ruangan itu terlihat bunga mawar yang sudah.mulai mekar dan berwarna merah merona.
Ada juga melati, rossemarry, bunga matahari, adenium, bunga kamboja dan beberapa jenis tanaman hias.
Ya, itu adalah green house aneka macam tanaman hias, yang dibangun oleh Setyo, sejak bertahun tahun lalu. Ada puluhan macam jenis bunga. Tetapi, didominasi aneka jenis mawar.
Setyo pun mengambil gunting dan memotong beberapa tangkai bunga mawar yang sudah mekar, memerah.
Dia lalu merangkai potongan bunga itu dan mengingatnya. Tak lama kemudian, dia pun memandang atap bangunan yang bening.
Sehingga, terlihat beraneka macam bintang. Kebetulan, malam itu, langit terlihat cerah dan tak berkabut.
"Opo mawar iki tak kirim neng kowe ya nduk," ujar Setyo dalam hati.[bersambung]
ikuti terus update berita rmoljatim di google news