Rakyat Harus Diberi "Karpet Merah" dalam Memilih Calon Presiden

Fahira Idris / net
Fahira Idris / net

Ambang batas pencalonan presiden sebesar 20 persen dari jumlah kursi DPR atau 25 persen dari suara sah parpol secara nasional pada Pemilu yang termaktub dalam UU 7/2017 telah mengabaikan makna negara demokrasi.


Di mana demokrasi seharusnya menjamin setiap warga negara memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk mencalonkan diri sebagai calon presiden.

Terbaru, Pasal 222 UU 7/2017 tentang Pemilu yang mengatur ambang batas pencalonan presiden atau PT 20 persen di uji materi (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Anggota DPD RI Fahira Idris mendukung gugatan tersebut. Baginya, presidential threshold (PT) pencalonan presiden 20 persen merupakan PR besar demokrasi Indonesia. Sebab, salah satu tujuan demokrasi yaitu kesetaraan hak warga negara dalam berpolitik dihalang-halangi oleh aturan ini.

“Saya melihat ada kesenjangan yang luar biasa besar antara keinginan para pembuat undang-undang pemilu yang ngotot agar ambang batas 20 persen dipertahankan  dengan kehendak publik luas agar ambang batas dihapuskan,” ujarnya kepada wartawan, Minggu (12/12).

"Tak heran, norma ambang batas pemilihan presiden ini terus diuji di MK, karena memang tidak sesuai dengan prinsip demokrasi,”imbuhnya.

Menurut Fahira, ketentuan presidential threshold di tengah keharusan pemilu legislatif (pileg) dan pemilu presiden (pilpres) digelar serentak sejatinya sudah tidak relevan lagi.

"Ini karena saat pileg dan pilpres diselenggarakan bersamaan, demi keadilan dan asas kesetaraan dalam berkompetisi semua partai peserta pemilu mempunyai hak dan kesempatan yang sama mengajukan calon presidennya masing-masing,” katanya.

Lebih dari itu, kata Fahira, dampak besar atau mudarat dari dipaksakannya PT 20 persen yaitu kerasnya polarisasi akibat hanya dua calon presiden yang memenuhi syarat, masih bisa kita rasakan hingga hari ini.

Tuntutan penghapusan ambang batas pemilihan presiden, lanjut Fahira, tidak lepas dari semangat ingin mengembalikan hak demokrasi kepada rakyat.

“Rakyat harusnya diberi ‘karpet merah’ untuk memilih calon yang memang disediakan oleh sistem yang konstitusional, bukan oleh sistem yang didesain sesuai selera kelompok-kelompok tertentu. Rakyat punya hak dasar untuk mendapatkan akses terhadap banyak alternatif calon presiden dan wakil presiden sesuai konstitusi. Pengembalian hak dasar rakyat itu salah satunya melalui penghapusan ambang batas,” tandasnya.

ikuti terus update berita rmoljatim di google news