'Residu' Pasca Proses Ujian Pengisian Perangkat Desa

Ketua Komisi I DPRD Ngawi, Supeno/ist
Ketua Komisi I DPRD Ngawi, Supeno/ist

PASCA disahkan UU no 6 tahun 2014 tentang Desa (tentu dengan segala aturan turunannya) mulai terjadi pergeseran bahkan perubahan di pemerintahan di tingkat desa yang sangat signifikan.

Desa mulai mengatur sendiri pemerintahannya, termasuk Sumber Daya Manusianya juga dari sisi manajemen tata kelola keuangan dan administrasinya.

Meluncurnya APBN (Dana Desa-DD) ke desa (tentu melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa/APBDes) sesuai amanat UU no 6 tahun 2014 tentang desa adalah merupakan wujud dari reformasi anggaran yang amanatkan oleh Undang Undang.

Di sisi lain perubahan itu juga terjadi di wilayah reformasi birokrasi di tingkat desa yang terkait proses pengisian kekosongan perangkat desa (sekdes dan seluruh jajaran dibawahnya) yang dilakulan melalui proses penjaringan dan penyaringan. 

Nah dari sinilah kira kira akan muncul "residu" (akibat kurang baik) pasca proses pengisiannya.

Karena itu saya ingin memulai dengan dua kata profesional-elektoral.

Struktur pejabat pemerintahan desa saya klasifikasi dua, ada pejabat administratif (sekdes dan bawahannya para KAUR) juga ada pejabat Kewilayahan (Kades dan para Kasun).

Dalam amanat UU-PP-Perda-Perbub, ketika mengisi kekosongan perangkat tersebut, alat ukur yang digunakan adalah "Profesional" yaitu dengan ujian baik ujian pengetahuan maupun ujian skil tertentu. 

Problem yang muncul kemudian, ketika menggunakan alat ukur profesional (ujian) dan WNI (KTP), maka wilayah-wilayah jabatan yang lebih bersifat elektoral/kekuasaan kewilayahan akan muncul, manakala dibandingkan dengan jabatan (kekuasaan) administratif sifatnya.

Nah, dari sini kira kira akan muncul "lakon" raja tanpa mahkota. 

Suatu misal desa A akan melaksanakan pengisian perangkat desa. Ada yang dari unsur Kaur juga ada yang dari unsur Kasun.

Dalam regulasi salah satu persyaratan peserta bisa lintas geografis alias KTP WNI.

Mekanisme seleksi sesuai dengan amanat regulasi semua menggunakan ujian.

Ketika ujian perlakuan semua peserta sama, baik jabatan Kaur maupun jabatan Kasun, menurut hemat penulis tidak akan muncul problem yang signifikan manakala yang lolos ujian adalah warga di luar desa A yang sedang ada proses pengisian perangkat.

Namun problem yang muncul kemudian manakala slot kasun yang kosong, terus yang lolos ujian adalah bukan warga setempat.

Dari sinilah menurut kalkulasi penulis akan ada implikasi negatifnya yaitu raja tanpa mahkota.

Ketua Komisi I DPRD Ngawi

ikuti terus update berita rmoljatim di google news