Revisi RUU KUHAP Berpotensi Abuse Of Power dan Ancam Keseimbangan Sistem Peradilan

Prof Noor Harisudin dan Prof Arief dalam seminar nasional di ruang perpustakaan UIN KHAS Jember/Ist
Prof Noor Harisudin dan Prof Arief dalam seminar nasional di ruang perpustakaan UIN KHAS Jember/Ist

Dua Pakar Hukum Universitas Islam Negeri KH Ahmad Shiddiq (UIN KHAS) Jember dan Universitas Jember (Unej), sepakat bahwa pemerintah tidak terburu-buru mengesahkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) menjadi Undang - Undang. Sebab, jika revisi RUU KUHAP tersebut disahkan tanpa ada perubahan secara substansial, akan berpotensi terjadi abuse of power (penyalahgunaan kekuasaan), karena ada kewenangan berlebihan pada kejaksaan. Bahkan juga mengancam terjadinya ketidakseimbangan dalam sistem peradilan di negeri ini. 


Kekhawatiran ini disampaikan pakar hukum UIN KHAS Jember, yang juga Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara, Prof. Dr. KH. M Noor Harisudin, S. Ag, SH, M. Fil.I 

Dia mengungkapkan penerapan KUHAP edisi revisi ini, berpotensi terjadi penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) yang muncul akibat pemberian kewenangan berlebihan kepada Kejaksaan. Menurutnya, tanpa adanya perubahan signifikan, rancangan ini berisiko mengancam keseimbangan dalam sistem peradilan.

"Jika RUU KUHAP ini disahkan tanpa perubahan substansial, kita akan kehilangan check and balance. Jaksa berisiko menjadi lembaga super body yang tak terkendali dan rawan penyimpangan," tegas Prof. Noor Harisudin, dikutip kantor berita RMOLJatim, Jum'at 21 Februari 2025.

Dalam acara seminar, dengan tema "Kesetaraan peran dan kewenangan dalam RUU Kitab Undang -Undang Hukum Acara Pidana ( KUHAP) di Aula Perpustakaan UIN KHAS Jember" Dia juga mengingatkan bahwa ketimpangan kewenangan ini bisa memicu chaos di kalangan aparat penegak hukum (APH)," katanya.

Jika kewenangan terpusat hanya pada satu lembaga, lanjut dia maka penyalahgunaan kekuasaan menjadi hal yang sangat mungkin. Sudah banyak kasus penyimpangan di kalangan polisi, jaksa, hakim, hingga advokat.

Menurutnya, ketimpangan kewenangan ini semakin diperparah oleh perbedaan sistem hukum Indonesia dengan negara seperti Belanda, yang menerapkan sistem hierarkis dengan jaksa sebagai pihak dominan. Di Belanda, sistem ini mungkin berlaku karena jumlah penduduk mereka hanya 17 juta. 

"Di Indonesia, dengan 280 juta penduduk, sistem ini akan berbahaya," tegas mantan Dekan Fakultas Syariah UIN KHAS Jember, periode 2019-2023 ini.

Prof. Haris juga menilai bahwa kewenangan besar bagi Kejaksaan berisiko memicu ketidakharmonisan antara Kepolisian dan Kejaksaan, yang selama ini berjalan dengan posisi setara. 

Dia juga mengkritisi sentralisasi dalam pengendalian Perkara dalam RUU KUHAP tersebut. Menurutnya, sentralisasi pengendalian perkara yang diusulkan dalam rancangan ini justru bisa memperlambat proses hukum. Jika kontrol terpusat di Jakarta, bagaimana dengan perkara di daerah? Proses hukum bisa terhambat, dan ini justru akan menambah ketidakpastian hukum.

Dia juga menekankan perlunya peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) dalam peradilan, dengan mengusulkan agar penyidik di Kepolisian mendapat pendidikan lebih tinggi agar bisa bekerja secara profesional. 

"Bukan hanya soal kewenangan, tapi juga kualitas SDM yang harus ditingkatkan," jelasnya.

Selain itu juga, Ia menekankan kepada Kejaksaan, jika RUU KUHAP ini diberlakukan apakah Sumber Daya Manusianya cukup secara kuantitas, mengingat perbandingan kasus yang macet di Kejaksaan menjadi tolok ukur kurangnya SDM yang ada. 

Dia juga mempertanyakan "apakah mampu Kejaksaan dengan kebijakan efisiensi saat ini merekrut SDM  dengan cepat?.

"Saya pikir ini tidak rasional jika berbicara jumlah jaksa yang ada di Indonesia saat ini," terangnya .

Lebih lanjut, Prof. Haris juga mengusulkan batas waktu yang jelas dalam penyelesaian perkara. "Misalnya, 14 hari untuk kasus ringan dan maksimal dua bulan untuk kasus yang lebih kompleks. Jangan sampai kasus berlarut-larut tanpa kejelasan.

Dengan berbagai masalah ini, Prof. Haris menekankan pentingnya evaluasi lebih lanjut terhadap RUU KUHAP sebelum disahkan. 

"Revisi KUHAP harus memperbaiki sistem yang ada, bukan membuka celah bagi penyalahgunaan kekuasaan yang lebih besar," pungkasnya.

Senada disampaikan Guru Besar Hukum Pidana Universitas Jember, Prof. Dr. M. Arief Amrullah. Dia  juga menyoroti potensi ketimpangan kewenangan antara Kepolisian dan Kejaksaan dalam RKUHAP. 

Menurutnya konsep 'dominus litis' yang diberikan kepada Jaksa Penuntut Umum tidak boleh diartikan sebagai dominasi lembaga tertentu. 

"Kewenangan penyidikan ada pada Kepolisian, sementara kewenangan penuntutan ada pada Kejaksaan. Jangan sampai RKUHAP membuat satu lembaga lebih tinggi dari yang lain," ucap Arief.  

Ia juga menegaskan pentingnya transparansi dalam pembahasan RUU-KUHAP agar publik dapat mengkritisi aturan yang berpotensi menimbulkan ketimpangan. 

"Jika aturan ini tidak dibuka untuk dialog publik, bisa saja timbul ketidaksetaraan yang mengarah pada penyalahgunaan kewenangan," tegasnya.

Prof. Arief juga mengingatkan perlunya harmonisasi antara KUHAP, Undang-Undang Kejaksaan, dan Undang-Undang Kepolisian. Jangan sampai RKUHAP bertentangan dengan peraturan lain yang berlaku. 

"Tanpa harmonisasi, kita bisa menciptakan dominasi satu lembaga terhadap yang lain dan membuka peluang penyalahgunaan kekuasaan," terangnya.

ikuti terus update berita rmoljatim di google news