- Kota, Big Data dan Akal Imitasi
- Paranoid Aktor Negara Mengawasi Warga
- Mengulas Kembali ''Pergerakan Merah'' Hindia Belanda
PERBINCANGAN tentang revolusi, terutama personal, tak akan pernah ada habisnya. Walau di negara-negara yang terlihat adem ayem dimana warganegara tampak tenteram gemah ripah loh jinawi, revolusi bisa menjadi topik hangat, bahkan menjurus ke ketegangan sebelum revolusi fisik dimulai. Pantas saja jika banyak orang mengatakan topik revolusi sudah setua usia manusia. Peradaban manusia dibangun dari revolusi. Acapkali, revolusi lantas diidentikkan dengan perlawanan (revolt).
Terinspirasi oleh Freud, filsuf Prancis Julia Kristeva memandang karya peradaban sebagai sesuatu yang terkait dengan upaya mengatasi hal-hal purba, khususnya, ibu purba. Ibu yang menginspirasi perlawanan. Bagi Kristeva, sebagaimana terbaca dalam argumennya yang berkembang dalam buku ini, menjadi jelas bahwa perlawanan selalu terbungkus dalam istilah-istilah yang sangat paternal. Perlawanan semesta adalah perlawanan terhadap laki-laki.
Kristeva beken sebagai tokoh feminis. Ia menyatakan bahwa agar perlawanan efektif dalam mengamankan kebebasan, maka harus ada konfrontasi melawan hambatan, larangan, perjuangan dengan otoritas serta hukum. Lagi-lagi, ia mengacu pada Freud dalam Totem dan Tabu. Totem merupakan simbol atau representasi afiliasi manusia dengan hewan, tumbuhan, dan benda mati. Dalam masyarakat primitif, penghormatan terhadap totem merupakan ekspresi dari tragedi pembunuhan ayah. Freud menganggap tingkah laku anak dapat dianggap sebagai semacam perilaku pribadi kepada totemisme.
Sedangkan tabu menurut Sigmund Freud adalah larangan atau pantangan yang harus dihindari dalam masyarakat primitif. Freud memandang tabu sebagai perintah dari hati nurani. Larangan-larangan dalam masyarakat primitif, seperti larangan membunuh totem, dapat berlangsung pada masa pertumbuhan anak-anak. Nah, keberhasilan perlawanan terjadi melalui pemindahan otoritas ayah kepada anak laki-laki, dan pembentukan pakta simbolis yang melindungi anak laki-laki dari pengaruh ibu.
Akan tetapi, bagi Kristeva, ada dua jenis ayah, satu imajiner dan yang lainnya oedipal, dan keduanya diperlukan untuk perlawanan. Keduanya diperlukan untuk mengamankan ruang pemisahan dari ibu. Ayah imajiner adalah ayah identifikasi dan idealisasi, seseorang yang, melalui efek cermin, menyajikan subjek dengan citra ego yang memungkinkan ruang dari wadah keibuan.
Sedangkan ayah oedipal merujuk pada istilah dalam psikologi Freudian. Bahwa "ayah oedipal" mengacu pada ayah biologis seorang anak laki-laki yang dianggap sebagai saingan untuk mendapatkan kasih sayang ibu anak laki-laki tersebut. Ini fenomena "kompleks Oedipus," di mana anak laki-laki tersebut secara tidak sadar menginginkan ibunya dan merasa cemburu terhadap ayahnya, seperti dalam mitos Yunani tentang Oedipus yang tanpa sadar membunuh ayahnya dan menikahi ibunya. ''Ayah Oedipal'' ini berfungsi memantik rasa tak puas, rasa iri dan agresif.
Julia Kristeva merupakan figur produk perlawanan mahasiswa Paris yang terkenal pada bulan Mei 1968, Ia telah lama terpesona pada konsep pemberontakan dan revolusi. Dalam buku ini, Kristeva meneliti cara tiga penulis modern yang paling meresahkan, yakni Louis Aragon, Jean-Paul Sartre, dan Roland Barthes, dalam menegaskan pemberontakan pribadi mereka. Ia kemudian merenungkan masa depan pemberontakan, dengan menyatakan bahwa pemberontakan politik tidak hanya terperosok dalam kompromi, tetapi juga bahwa komponen penting dari budaya Eropa, yakni keraguan serta kritik, saat ini sedang kehilangan kekuatan moral dan estetikanya.
Sebagai pakar linguistik, psikoanalisa sekaligus filsuf, tentu tak sulit bagi Kristeva untuk menjabar karya-karya Barthes yang bernuansa perlawanan. Barthes sendiri bersama Jean-Paul Sartre hadir dalam peristiwa Mei 1968. Suasana pemberontakan terhadap kemapanan sistem kala itu. Suasana perlawanan terasa dalam karya-karya Barthes. Begitupula dengan penyair Louis Aragon. Ia bahkan mendukung peristiwa Mei 1968.
Dengan semangat perlawanan itu, Kristeva lantas menukik ke dalam kiprah paternal berupa identifikasi dan idealisasi. Ia melihat kedua hal itu juga bekerja dalam memicu kelahiran kembali melalui contoh pengampunan. Ketidakbahagiaan terjadi karena tidak adanya makna. Ego imajiner mampu memberi makna pada apa yang sebelumnya tidak ada. Misalnya, dengan menjumpai orang lain yang "penuh kasih" yang tidak menghakimi tetapi mendengarkan kebenaran saya, maka saya mengalami pengampunan. Dengan begitu, Kristeva menegaskan bahwa pengampunan tidak diberikan oleh orang lain: melainkan seseorang memaafkan dirinya sendiri dengan bantuan orang lain.
Konsep kebebasan personal seperti itu menunjukkan adanya pergerakan yang melampaui oedipus, gerakan pasca-oedipal. Artinya, ini merupakan gerakan yang sangat personal dan intim. Maka, tidak mengherankan jika Kristeva memberi kita kisah otobiografi tentang perjuangannya sendiri, khususnya perjuangannya sebagai orang asing di Prancis.
Kristeva lahir pada 1941 dan besar di Bulgaria. Setelah memperoleh beasiswa di Prancis, nyaris seluruh karir akademisnya dihabiskan di negeri anggur itu. Hari-harinya di Paris merupakan hari-hari penuh perjuangan serta penderitaan. Diakuinya, ada dua jenis penderitaan, pertama Bulgaria asalnya, dan Prancis dimana ia kemudian tumbuh menjadi filsuf. Buku kumpulan esai ini seperti rekaman perjalanan hidup Kristeva. Ada 15 esai menarik, mudah dicerna, gampang dipahami, ditulis dengan mengalir oleh Kristeva.
Ala kulli hal, hasrat pada perlawanan dan revolusi memang kuat membekas dalam buku ini. Tentunya, perlawanan terhadap beragam tembok penghalang, sekat penghadang, yang kerap menjadikan kebebasan menciut akibat ulah tiran. Boleh dikata, bagi Kristeva, revolusi dan perlawanan memang belum usai, dan mungkin tak pernah usai sepanjang manusia masih dicengkeram ketidakbahagiaan personal.@
*Penulis adalah akademisi dan periset
ikuti terus update berita rmoljatim di google news
- Kota, Big Data dan Akal Imitasi
- Paranoid Aktor Negara Mengawasi Warga
- Mengulas Kembali ''Pergerakan Merah'' Hindia Belanda