Rusia Setelah Tiga Dasawarsa

Foto dok
Foto dok

SUDAH lebih dari tiga dasawarsa Uni Soviet bubar. Ketika itu terjadi, pada 26 Desember 1991, rakyat Soviet terlihat suka cita. Mereka bernafas lega, terbebas dari cengkeraman rezim brutal selama bertahun-tahun sejak usai perang dunia kedua. Kisah warga Soviet di era perang dingin sudah menjadi legenda.

Kini, suasana negeri yang dulu berjuluk beruang merah itu memasuki dinamika baru. Warga bebas berekspresi, bahkan berani mengkritisi. Meski masih ada rasa was-was dalam hati kritikus jika kritik yang dilontarkannya berujung masalah. Namun, Vladimir Putin yang berkuasa sejak Mei 2000 telah melakukan konsolidasi politik untuk menghadapi aneka kritik tersebut.

Sebagai mantan perwira intelijen KGB, Putin punya kepekaan terhadap apa yang dikehendaki rakyat Rusia. Putin terpilih sebagai presiden Rusia usai digelar Pemilu ketiga pada 2000 dan ia kembali terpilih pada Pemilu 2004. Memasuki Pemilu 2008, Putin mendukung Dmitry Medvedev yang kemudian menang telak. Putin kembali berkuasa setelah Pemilu 2012, dan ia kembali menang telak pada Pemilu 2018, berlanjut pada Pemilu 2024.

Elektabilitas Putin memang sangat jauh di atas rivalnya. Menariknya, tidak ada gejolak berarti dalam proses Pemilu Rusia sejak terjadi peralihan sistem satu partai di era Uni Sovyet menjadi sistem banyak partai pada masa kini. Putin memang telah menjadi sorotan media internasional karena masa lalunya yang memantik kekhawatiran kembalinya Rusia seperti era Perang Dingin. Namun, kekhawatiran itu tak terbukti.

Putin justru sama sekali tak menghalangi kandidat lain yang berangkat dari beragam partai. Kontestasi politik berlangsung sebagaimana mestinya. Kehadiran berbagai partai untuk menyerap aspirasi politik warga telah ikut mewarnai kontestasi tersebut. Ada keragaman sikap warga Rusia dalam merespon pendirian berbagai partai serta digelarnya pemilu empat tahun sekali. Selain bersikap kritis, warga Rusia juga kian adaptif terhadap hiruk-pikuk politik.

Buku ini fokus pada dinamika Rusia dari 1993 sampai 2021. Sejak Rusia mulai menggulirkan Pemilu secara rutin empat tahunan sampai keputusan Rusia menginvasi Ukraina. Selama kurun itu, kedua penulis buku ini melakukan survei terhadap warga Rusia. Ada tiga amatan dalam survei tersebut. Pertama, amatan terhadap pembentukan tatanan politik baru. Kedua, amatan terhadap tatanan ekonomi baru. Ketiga, amatan terhadap wilayah negara Rusia yang berbentuk federasi.

Perubahan sistem politik dari satu partai, yakni Partai Komunis, menjadi multi-partai telah menjadikan wajah politik Rusia berbeda. Kebebasan untuk warga memilih partai berlangsung dari satu pemilu ke pemilu berikutnya. Situasi politik ini juga diikuti dengan perubahan sistem ekonomi, yang semula terkonsentrasi pada negara, lalu berubah menjadi sistem yang memberi tempat untuk mekanisme pasar serta kepemilikan pribadi.

Perubahan mendasar dari totalitas identitas era Uni Sovyet menjadi identitas Rusia sebagai negara-bangsa, pada gilirannya juga ikut mempengaruhi cara pikir warga Rusia. Apalagi perang di kawasan perbatasan melawan Checnya pada dekade '90an, Georgia pada 2008, dan yang mutakhir perang lawan Ukraina, seluruhnya berdampak pada mentalitas warga Rusia meneguhkan jati dirinya sebagai bangsa.

Walau para pemimpin Rusia selalu mengklaim bahwa negeri itu menganut ekonomi pasar. Namun, kenyataan menunjukkan perkembangan pasar justru sangat terbatas, statis dan terjadinya pengarahan otoritarian dari segelintir elit politik. Wajar saja jika dikatakan sistem hibrida dalam ekonomi politik yang dipraktekkan Rusia saat ini punya dampak signifikan terhadap warga. Pada satu sisi, warga merasakan kelonggaran politik, pada sisi lain praktek-praktek bisnis dan ekonomi masih dipegang segelintir elit.

Hibrida dari otoritarianisme elektoral dan kapitalisme patrimonial telah menggantikan sistem kekuasaan total ala komunisme Sovyet. Pada saat sistem pengganti itu sedang berkonsolidasi melalui serangkaian pertemuan elit politik Rusia yang kemudian melahirkan berbagai pilihan kebijakan, ternyata warga Rusia merasakan perubahan yang lamban. Dinamika ekonomi-politik tak secepat yang diperkirakan. Kontestasi dan konsolidasi terjadi di tingkat elit untuk membangun blok-blok kekuasaan, tapi dampaknya belum terasa signifikan di tingkat akar rumput.

Ketika Putin terpilih lewat Pemilu, ia memang mempunyai basis legitimasi kuat. Namun, ia tak begitu terbuka ketika menggulirkan kebijakan ekonomi dan bisnis. Banyak praktek-praktek informal dalam ekonomi dan bisnis yang berujung pada lingkaran elit politik tertentu. Ketika Putin mendukung Medvedev pada tahun 2004 dan 2008, para rival tak terlalu antusias untuk ikut meramaikan pemilu, sehingga begitu mudah Putin dan Medvedev meraih kemenangan.

Lazimnya, saat sebuah negara mempraktekkan demokrasi sebagai sarana menyerap aspirasi warga, dan bukan sekadar bersifat prosedural, maka seharusnya terjadi konsolidasi serta kontestasi di tingkat akar rumput. Dalam kasus Rusia, penggunaan sistem hibrid yang diharapkan bisa mempercepat proses konsolidasi serta menjamin kontestasi berlangsung baik, yang terjadi justru konsolidasi serta kontestasi itu hanya berlangsung di tingkat elit.    

Akhirulkalam, pelajaran dari Rusia ini sangat penting karena menyangkut cara sebuah bangsa keluar dari sistem tertutup lalu masuk ke sistem terbuka. Ada keyakinan dari bangsa Rusia, bahwa mereka mampu mengkonsolidasikan diri sembari menggulirkan kontestasi. Demokrasi memberi peluang itu, namun perilaku elit politik sepertinya seringkali memang berbeda dari apa yang dikehendaki warga.

Penulis adalah periset

ikuti terus update berita rmoljatim di google news