Saat Wangmin Bernegosiasi Lawan Negara

Foto dok
Foto dok

SEJARAH RRC atau China modern merupakan sejarah revolusi, perubahan sosial yang cepat. Saat pemerintah China membuka akses masyarakat ke internet pada tahun 1994, sejak saat itu sesungguhnya para pembuat kebijakan serta elit pemerintahan melihat potensi pengembangan teknologi digital. Namun, yang tak bisa dicegah adalah akses internet bisa mendorong demokratisasi. Banyak kajian sesudah tahun 1994 itu yang optimis, bahwa kelompok atau figur pembangkang di China bisa memanfaatkan akses internet itu guna menyebarkan gagasan mereka.

Pada gilirannya, bisa mengajak masyarakat untuk menuntut rezim Beijing agar lebih banyak terbuka. Akan tetapi, kajian-kajian para sarjana tentang China di era ini ternyata juga mengungkap, bahwa kemudahan mengakses internet justru menjadikan elit-elit rezim Beijing mencari cara menutupi keburukan mereka. Dua kecenderungan kajian tersebut, yakni optimis terhadap perkembangan internet China dan pesimis perkembangan itu bermanfaat untuk keterbukaan, terus bergulir hingga awal abad 21.

Pun yang paling menonjol adalah upaya pemerintah China memanfaatkan internet demi kepentingan elit politik. Meski sampai kini terlihat jelas, bahwa perkembangan pesat teknologi digital di China belum bisa membongkar rezim otoritarian meski perkembangan itu telah berdampak terhadap struktur sosial-politik masyarakat. Situasi itu agak berbeda dari perjalanan sejarah perkembangan teknologi di negara-negara lain yang bukan saja berdampak pada struktur masyarakat, namun juga begitu sering menghantam tatanan politik negara.  

Penulis buku ini, Shaohua Guo, adalah mahaguru ilmu kajian sastra China di Carleton College, AS. Ia menelusuri ke sumber-sumber asli berbahasa China untuk mengetahui bagaimana sesungguhnya respon masyarakat dan negara di China daratan pada perkembangan internet sejak tiga dekade silam hingga kini. Menurutnya, begitu internet menjadi fenomena sosial di China, sebenarnya hubungan antara rezim dan masyarakat tidak bisa sekadar dilihat dalam bingkai oposisi biner. Negara lawan masyarakat. Bukan semacam itu.

Sebab, terdapat sistem tawar-menawar dan resiprositas yang dipraktekkan rezim China saat ini. Sistem ini menggeser totalitarianisme ke hegemonik yang mengadopsi cara-cara memaksa guna mencapai konsensus dengan melibatkan banyak pihak. Di bawah logika otoritarian yang responsif, maka pelan-pelan negara secara dinamis melakukan penyesuaian terhadap lingkungan sosial-ekonomi yang tengah berubah.

Media memainkan peran penting dalam situasi tersebut. Terutama untuk merekayasa kesadaran masyarakat, dan sebagai imbalannya, media memperoleh otonomi serta kekuatan tawar dari partai yang berkuasa. Dengan situasi ini, maka proses negosiasi antara negara dan masyarakat berlangsung secara dinamis. Hasilnya, muncul narasi atau norma-norma baru yang kadang bersepakat dengan kepentingan negara, tapi acap juga berseberangan dengan narasi resmi negara.

Suasana itu mengiringi proses modernisasi teknologi China. Didalamnya terdapat tiga aktor penting, yakni negara, kekuatan agak resmi (media), non-negara. Kajian-kajian mutakhir penggunaan internet di China yang dilakukan oleh Haomin Gong dan Xin Yang menunjukkan penggunaan internet mulai dari pemalsuan daring sampai pada karya-karya sastra yang kemudian diadopsi dalam format visual. Semua tersedia di internet.

Di China, para netizen disebut ''wangmin''. Sebutan ini sudah melekat sejak 1994, saat mereka melekat pada internet. Kebutuhan untuk selalu melihat internet, memakai internet untuk berbagai keperluan. Para wangmin inilah menjadi pendorong utama vitalitas budaya pop China. Mereka gemar merespon berbagai isu masyarakat. Kreasi ''Weibo'' (mikro-blog) dan WeChat (Weixin) juga bertujuan memenuhi hasrat luar biasa wangmin untuk ngobrol politik.

RRC telah mengalami revolusi kebudayaan sejak tahun 1966. Segala ekspresi seni dan budaya wajib sesuai selera elit yang dianggap sebagai representasi negara. Penyensoran berlangsung dimana-mana. Segala ekspresi budaya yang dinilai tak sesuai, pasti disikat. Situasi berubah usai Mao meninggal pada 1976. Dua tahun kemudian, 1978, rezim Beijing meluncurkan reformasi ekonomi. Komersialisasi media menjadi bagian dalam reformasi ini. Dragon TV yang berbasis di Shanghai boleh menerima iklan.

Melalui rencana pembangunan lima tahun (repelita) yang kesepuluh kali, yakni sejak China masuk WTO pada 2001, industrialisasi menjadi bagian penting. Dan sejak Juli 2003, PKC mulai merangkul dunia industri, termasuk industri media. Pada repelita ke-12, China benar-benar menetapkan industri sebagai pilar pertumbuhan. Dan pada repelita ke-13, China memasukkan inovasi sains dan teknologi memegang peran penting dalam menopang industri. Rezim Beijing sukses melakukan kapitalisasi budaya, bukan sekadar tukang sensor.

Akhirulkalam, perkembangan internet yang memberi ruang kebebasan kepada netizen untuk berekspresi memang bisa berdampak pada tatanan negara. Aktor-aktor negara dituntut responsif terhadap perubahan yang terjadi, bukan sekadar membentak atau nyinyir terhadap kritik para wangmin. Melainkan yang terpenting adalah menunjukkan sikap responsif yang simpatik, tidak sok kuasa.

* Penulis adalah akademisi dan periset

ikuti terus update berita rmoljatim di google news