PEMERINTAH melalui Inpres Nomor 9 tahun 2025 ingin membangun segera Koperasi Desa (Kopdes). Namanya sudah ditentukan oleh pemerintah secara seragam, Kopdes Merah Putih. Sumber pendanaannya menurut Inpres tersebut akan berasal dari APBN, APBD, APBDesa, serta pinjaman dengan pola channeling dan executing.
Melalui kebijakan tersebut, koperasi seakan didorong menjadi mainstream, tapi sesungguhnya yang dilakukan justru sedang membunuh, menikam koperasi secara serius. Kebijakan tersebut bukan hanya salah konsep, tapi salahi prinsip dan mengandung sesat pikir yang mendasar dan mengulang ulang kesalahan kebijakan lama.
Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) dengan resolusinya A/78/L.71 juga menetapkan tahun 2025 sebagai Tahun Koperasi Internasional (International Year Cooperative). Pengakuan tersebut sedang dirayakan oleh gerakan koperasi seluruh dunia akan capaian yang gemilang dalam membangun perusahaan yang bertumpu pada otonomi, kemandirian dan demokrasi. Sebagai sebuah prestasi besar dari orang orang sederhana dalam ciptakan sebuah rezim bisnis demokratis.
Gerakan koperasi dunia telah tunjukkan prestasi dengan kemampuanya dalam praktik untuk menjawab kebutuhan riil yang bersifat imanen dari masyarakat dengan sekaligus kembangkan semangat untuk mewujudkan sistem sosial ekonomi yang adil.
Setidaknya, menurut ICA, saat ini ada 1,3 miliar orang telah menjadi anggota koperasi, dan dari data 300 koperasi besar dunia yang diterbitkan oleh ICA putaran bisnisnya kurang lebih sebesar 36 triliun rupiah atau sama dengan Produk Domestik Bruto (PDB) negara Italia.
Layanan bisnis koperasi berkembang di berbagai sektor. Dari sektor ritel pemenuhan kebutuhan sehari hari, pertanian, keuangan, pemasaran, perumahan, industri, hiburan, IT, bahkan hingga layanan sosial seperti kampus, sekolah, listrik, rumah sakit.
Koperasi ini memiliki ciri yang sama dan dibentuk oleh kekuatan prinsip otonomi, kemandirian dan demokrasi.
Kopdes Merah Putih jelas sudah salahi konsep koperasi secara mendasar. Pada dasarnya koperasi itu organisasi swasta mandiri, perusahaan otonom yang diusahakan oleh masyarakat sendiri untuk menjawab kebutuhan ekonomi masyarakat.
Kebijakan pemerintah yang benar adalah menciptakan daya dukung lingkungan yang baik bagi tumbuh kembang koperasi melalui agenda demokratisasi ekonomi dan juga melalui insentif penting seperti pajak, pendidikan dan pelatihan, atau semacam kebijakan trade off serta upaya konsolidasi dan pengawasan, bukan memperalatnya untuk tujuan politik praktis dengan bebani dengan agenda besar nasional.
Model Koperasi Desa Merah Putih itu tidak mungkin dapat diharapkan keberlanjutannya. Sebab semua semua ditentukan oleh pemerintah dari atas (top down) dan bahkan nama saja ditentukan. Ini sudah tunjukkan tidak demokratis. Apalagi modalnya semua dibiayai oleh pemerintah, ini namanya hancurkan kemandirian. Apa yang dilakukan pemerintah hari ini itu sedang merusak koperasi, bukan membangun koperasi. Membina tapi justru membinasakan.
Koperasi yang dikembangkan secara top down, dibangun dari atas itu membunuh prakarsa masyarakat. Koperasi model begini tidak akan berakar kuat di masyarakat. Mereka hanya akan tumbuh seperti jamur di musim hujan. Musim kemarau datang mereka akan segera mati. Koperasi di luar negeri, yang besar dan menjadi perusahaan raksasa itu karena dihargai otonominya, dibangun kemandirianya dan dikembangkan secara demokratis, bukan seperti Kopdes Merah Putih ini.
Program Kopdes Merah Putih ini adalah konsep serampangan yang tujuannya bukan hanya untuk hancurkan koperasi, tapi juga hanya akan mendorong pragmatisme para makelar program untuk mengambil keuntungan. Sementara rakyat hanya akan ditempatkan sebagai korbannya. Mereka bukan belajar dari kesalahan masa lalu atau setidaknya belajar dari sukses koperasi yang sudah ada di masyarakat atau dari negara lain. Mereka sedang melakukan kesesatan.
*Penulis adalah Ketua Asosiasi Kader Socio-Ekonomi Strategis (AKSES), Direktur Cooperative Research Center (CRC) Institut Teknologi Keling Kumang
ikuti terus update berita rmoljatim di google news