Di kampung lawas itu ada Gang Peneleh yang sangat terkenal. Letaknya di Gang VII No 29-31 Surabaya, Jawa Timur.
- Fahira Idris Minta Debat Gagasan BEM UI jadi Agenda Prioritas Bacapres
- Tak Sepakat Threshold Nol Persen, PKS: Setidaknya Empat Persen
- Dorong Kemandirian Ekonomi Lewat Ekotren, Ganjar Didukung Ratusan Santri di Jember
Saat itu Tjokroaminoto menjadi pemimpin Sarekat Islam (SI). Anggotanya mencapai 2,5 juta orang.
Banyak alumni di rumah kos tersebut. Setelah tidak kos lagi, mereka menjadi tokoh besar pergerakan sebelum kemerdekaan. Nama-nama penghuni kos tetap eksis hingga sekarang.
Seperti Soekarno, Semaoen, Alimin, Musso, SM Kartosoewirjo, Tan Malaka, dan Darsono.
Nah, nama terakhir ini jarang diketahui publik. Namanya seolah tenggelam di antara nama-nama besar lain.
Tidak banyak literatur menyebut Darsono. Dia seakan bukan tokoh penting. Padahal peran Darsono di era kemerdekaan sangatlah vital.
Untuk menelusuri tokoh ini tidak mudah. Siapa dia, dilahirkan di mana, dari mana asalnya, keturunan apa, bagaimana sikap politiknya, pergerakannya berkiblat ke mana, dan siapa saja tokoh yang bersamanya.
Tidak banyak catatan soal Darsono. Bahkan di mesin pencarian Google, nama Darsono missing link.
Dari berbagai sumber yang dikumpulkan, Darsono merupakan tokoh berhaluan kiri. Dia sahabat karib Semaoen.
Sayangnya, belum diketahui secara pasti ‘persahabatan’ mereka terjadi saat indekos di rumah Tjokroaminoto atau saat bertemu di Semarang.
Yang jelas keduanya memiliki garis pemikiran sama. Rata-rata pergerakannya dilakukan di luar negeri.
Saat usia 19 tahun, Darsono sempat bergabung dengan Sarekat Islam Semarang. Bermula ketika Darsono hadir dalam persidangan Henk Sneevliet, tokoh komunis asal Belanda pada 1915.
Karena memiliki pemikiran yang sama, Darsono lantas diajak Semaoen bergabung dengan Sarekat Islam Semarang.
Darsono melihat tidak ada jawaban atas pergulatan dirinya dalam Islam, Kristen maupun Budha, melainkan sosialis. Sebuah dunia yang dia pilih untuk mewarnai masa mudanya.
Meski bergabung dengan SI, Darsono dan Semaoen juga bergabung dengan Indische Sociaal-Democratische Vereeniging, organisasi sosial demokrat Hindia Belanda (ISDV) cabang Surabaya.
Catatan sejarah Darsono sangat minim. Dia diperkirakan lahir 1897. Namun tempat lahirnya tidak diketahui.
Ayahnya juga tidak diketahui. Kemungkinan ayahnya pegawai negeri. Sebab Darsono mampu mengenyam bangku sekolah.
Darsono dikenal akrab dengan kehidupan petani karena pergaulannya dengan anak-anak petani sewaktu kecil. Kedekatannya dengan dunia pertanian, membuatnya memutuskan untuk melanjutkan sekolah di Sekolah Pendidikan Pertanian.
Setamat dari Sekolah Pendidikan Pertanian, Darsono bekerja di Perkebunan Tebu. Sebuah tempat di mana ia melihat kemiskinan dan sistem sosial yang buruk.
Selama bekerja, Darsono meluangkan waktunya dengan membaca buku-buku yang diperolehnya.
Masa itu, kehidupan kuli-kuli perkebunan yang buruk sudah menjadi hal yang biasa. Darsono sebetulnya ingin sekolah di Kedokteran Hewan, tapi gagal. Dan kembali lagi ke Semarang.
Sampai akhirnya hadir dalam persidangan Sneevliet, ia bertemu Semaoen yang kemudian menempatkannya dalam redaksi Sinar Djawa mulai 27 Februari 1918 pada bagian telegram.
Darsono menjadi redaktur surat kabar VSTP berbahasa Melayu dan koran Sarekat Islam Semarang setelah memutuskan berhenti bekerja perusahaan kereta Belanda.[noviyanto/bersambung
ikuti terus update berita rmoljatim di google news
- Anies Baswedan Diyakini Mampu Wujudkan Keadilan di Luar Jawa
- Respon PDIP atas Pertemuan Jokowi dengan Prabowo-Ganjar di Kebumen
- DPR Pertanyakan Pelayanan BSI yang Belum Pulih