Sidang Lanjutan Kasus Gagal Ginjal Akut PT Afi Farma, Kuasa Hukum: Ini Tindak Pidana Korporasi, Seharusnya Terdakwa Bebas

Yunus Adhi Prabowo, kuasa hukum terdakwa saat sidang kasus gagal ginjal akut di Pengadilan Negeri Kota Kediri/Ist
Yunus Adhi Prabowo, kuasa hukum terdakwa saat sidang kasus gagal ginjal akut di Pengadilan Negeri Kota Kediri/Ist

Sidang lanjutan kasus gagal ginjal akut yang menyeret empat terdakwa dari PT Afi Farma kembali digelar di Pengadilan Negeri Kota Kediri, Rabu (18/10) lalu. Agenda sidang pembacaan pledoi.


Seperti diketahui Direktur Utama PT Afi Farma, Arief Prasetya Harahap (Terdakwa I) dituntut 9 tahun penjara. Sedangkan tiga terdakwa lainnya yaitu Nony Satya Anugrah (Terdakwa II), Aynarwati Suwito (Terdakwa III) dan Istikhomah (Terdakwa III) dituntut masing-masing 7 tahun penjara.

Yunus Adhi Prabowo, kuasa hukum para terdakwa menyampaikan dalam pledoinya bahwa dugaan tindak pidana ini dilakukan oleh perusahaan atau korporasi. Berdasarkan Undang Undang Perseroan Terbatas, maka penanggungjawab dalam proses pembuatan obat hingga pengedaran adalah Direktur PT Afi Farma. Akan tetapi dalam dakwaan dan surat tuntutan yang diajukan Jaksa Penuntut Umum (JPU) melakukan penuntutan pidana kepada Terdakwa I, II, III, IV secara pribadi sebagai pihak yang bertanggungjawab, bukan kepada direktur PT Afi Farma selaku korporasi. 

"Tindakan Terdakwa II, III,IV sebagai karyawan dilakukan untuk perseroan dilakukan dalam menjalankan fungsi, kemudian ada keuntungan untuk korporasi, maka hal itu dianggap sebagai tindak pidana korporasi," kata Yunus dalam pledoi yang dibacakan dikutip Kantor Berita RMOLJatim.

Yunus melanjutkan, penempatan Terdakwa I, II,III,IV sebagai perorangan yang bertanggungjawab secara pribadi tidak dapat dibenarkan karena PT Afi Farma adalah Perusahaan yang sudah memiliki legalitas dan CPOB dalam melakukan kegiatannya.

Yang kedua, kata Yunus, secara garis besar ada  dua cara  kematian. Yakni kematian yang wajar akibat sakit dan kematian tidak wajar bukan akibat penyakit seperti pembunuhan, bunuh diri,  kecelakaan, keracunan dan lain-lain.

"Dalam hal ini, tidak ada data hasil visum, otopsi, dan biopsi dari masing-masing korban yang menyatakan EG dan DEG adalah penyebab kematian gagal ginjal akut pada anak. Karena untuk mengetahui penyebab kematian pasti harus disampaikan hasil otopsi, rekam medis, biopsy, precondition berkaitan kondisi keluarga, kondisi gaya hidup anak, makanan anak," ujarnya. 

Untuk mengetahui penyebab kematian anak secara pasti, Yunus menyebut bahwa visum et repertum berperan sebagai alat  penerangan bagi hakim serta alat  bukti yang cukup vital.

Ditambahkan Yunus, dengan persangkaan kematian karena racun dalam hal ini EG dan DEG yang dianggap tidak wajar karena di dalam otopsi terdapat petunjuk-petunjuk yang dapat membantu hakim dalam membedakan apakah kematian  mengenai tanda-tanda kematian atau sebab-sebab kematian.

"Kami berharap dengan menyajikan argumen dan pembelaan dalam sebuah dokumen setebal 256 halaman, tim kuasa hukum para terdakwa menyatakan tidak ada suatu keyakinan berdasarkan fakta-fakta yang telah disampaikan dalam persidangan, termasuk keterangan saksi terdakwa dan saksi ahli. Seharusnya para terdakwa dapat dibebaskan dari segala tuntutan yang dituduhkan," tandas Yunus, advokat dari PP Ikatan Apoteker Indonesia ini.

Sementara itu, Kasi Pidum Kejaksaan Negeri Kota Kediri, Muhamad Safir, menyebut JPU akan memberikan tanggapan atas pledoi atau nota pembelaan yang diajukan oleh terdakwa di sidang replik.

“Kita akan replik membalas pembelaan terdakwa. Sidang replik rencana digelar hari Senin (pekan) depan,” tutur Safir.

ikuti terus update berita rmoljatim di google news