Star Trek, Antara Nostalgia dan Waralaba


BAGI generasi X atau milenial awal yang suka tayangan sains fiksi, termasuk seri televisi atau film, tentu masih ingat Star Trek.

Tayangan sains fiksi dengan pesawat mirip piring berisi kru dari berbagai bangsa antar bintang. Tayangan perjalanan lintas bintang itu selalu diawali dengan intro beken ''Space, the final frontier'' (Angkasa luar, batas akhir). Intro yang seolah menyimpan hasrat manusia untuk menjelajah alam semesta dan bertemu dengan aneka kehidupan lain.

Star Trek telah menemani para fans sejak pertama kali dirilis pada 1966. Serial televisi ini selalu ditunggu para pemirsa yang ingin melihat beragam keanehan sekaligus keunikan. Ada Mr Spock yang punya kekuatan telekinesis.

Spock dari bangsa Vulcan dengan bentuk telinga lancip. Ada Worf dari bangsa Klingons yang berjidat unik. Ada Deanna yang punya kekuatan telepati. Ia dari bangsa Betazoids. Mereka berbeda tapi tunduk dan patuh pada instruksi Laksamana James, perwira senior pemimpin pesawat Star Trek.

Setelah seri awal usai pada 1969, sekuel seri berikutnya muncul dengan sub-judul The Next Generation pada tahun 1987. Kehadiran sekuel ini disesuaikan dengan selera dekade '80an. Tak terlihat dialog kaku, tapi jauh lebih luwes. Kekuatan seri ini masih terletak pada mengelola perbedaan diantara kru menjadi sebuah kekuatan untuk menghadapi berbagai ancaman sekaligus menyelesaikan persoalan. Sampai akhir sekuel ini pada tahun 1994, fans Star Trek tetap ingin melihat suguhan tema-tema menarik dalam tiap episode.

Meskipun, pada dekade yang sama telah beredar pula tayangan-tayangan film lain yang bertema angkasa luar. Tapi, daya tarik Star Trek masih kuat. Terbukti, ketika seri Deep Space Nine dirilis pada 1993, setahun sebelum seri The Next Generation berakhir, fakta menunjukkan terjadi perluasan spektrum fans. Selama dekade '90an itu, tayangan seri Deep Space Nine menjadi pendamping generasi milenial. Bahkan seri Star Trek bertajuk Voyager dirilis pada 1995, spektrum fans kian meluas.

Walau tema-tema yang diangkat dalam aneka seri itu terlihat kompleks tapi kenyataannya fans justru terus bertambah. Itulah kekuatan ekonomi kapitalisme, tulis penulis. Adam Kotsko, sang penulis, merupakan staf pengajar di fakultas Shimer Great Books School di North Central College, tempat ia mengajar dalam bidang humaniora dan ilmu sosial. Dalam buku ini, Kotsko memakai fenomena Star Trek untuk menjelaskan kapitalisme lanjut (late capitalism) yang sudah merambah ke seluruh segi kehidupan umat manusia.

Penetrasi kapitalisme lanjut sudah mempengaruhi budaya massa. Tayangan bukan sekadar hiburan, tapi tayangan juga acuan atau rujukan bagi kehidupan. Sekuel dan berbagai seri yang muncul belakangan bukan sekadar memuaskan hasrat menonton, melainkan juga memberi asupan ke dalam kesadaran penonton melalui frasa-frasa kondang. Oleh karena itu, Str Trek seri lanjut sudah mengalami komodifikasi. Tak melulu bertujuan menampilkan hal-hal baru dalam tiap episode, tapi yang terpenting adalah bagaimana strategi bisnis dirancang agar Star Trek menjadi produk waralaba yang terus dicari orang.

Melalui enam bab ditambah pendahuluan dan kesimpulan, Kotsko membawa pembaca ke alam penjelajahan baru terhadap Star Trek. Menyadarkan pembaca, bahwa sedari awal seri Star Trek dirilis sesungguhnya itu sudah bersifat bisnis. Tentu saja, Star Trek waralaba hiburan. Tujuannya, menghibur penonton sembari pelan-pelan mengubah gaya hidup penonton. Disadari atau tidak, yang tertanam ke dalam benak penonton adalah frasa dan episode seolah Star Trek secara implisit bernilai anti-kapitalis. Banyak komentator ilmiah menegaskan itu. Meski kenyataan menunjukkan sedari awal Star Trek justru berisi komodifikasi budaya massa.

Merujuk pada pakar sains fiksi Dan Hassler-Forest yang menyatakan bahwa penceritaan bergaya waralaba merupakan bentuk membangun dunia transmedia. Dunia ini melintasi media serta melibatkan partisipasi audiens. Tiap episode dalam seri Star Trek menunda penutupan narasi, membangkitkan rasa ingin tahu pemirsa atau audiens. Berkat situasi ini, maka tampilan Star Trek bukan saja tayangan seri televisi, tapi juga merambah ke novel, komik, animasi dan film. Dahaga audiens terhadap Star Trek terus dieksploitasi agar juga tertarik pada Star Trek dalam wujud beragam media, seperti komik, novel dan film tersebut.

Akhirulkalam, buku ini memang sangat kritis terhadap Star Trek sebagai label kapitalisme lanjut. Audiens memang butuh tayangan menghibur, tapi sekadar tayangan tentu tak bermakna apa-apa bagi produsen. Diperlukan media lain untuk mengeksploitasi hasrat butuh hiburan dari audiens itu. Disitulah kemudian Star Trek tak lebih sebagai label waralaba. Tak cuma memantik nostalgia.

Penulis adalah akademisi dan periset

ikuti terus update berita rmoljatim di google news