Suku Hui, Patriot China Yang Terlupakan

Foto dok
Foto dok

HUI suku muslim di China mempunyai sejarah panjang membela tanah-airnya. Mereka bersedia mengangkat senjata melawan pasukan negara lain yang merangsek masuk China. Kisah patriotisme Hui ini jarang dibahas, apalagi pada dua dekade belakangan dunia ramai dengan isu radikalisme dan terorisme.

Pada pertengahan tahun 1930-an, badai melanda Tiongkok. Selama bertahun-tahun, Kekaisaran Jepang telah menjalankan kebijakan intervensi kolonial dalam urusan Tiongkok. Pada tahun 1934, Jepang nyaris menguasai seluruh China. Jepang menyatakan China yang lebih besar itu sebagai "daerah perlindungan" yang tidak mampu memerintah diri sendiri. Pasukan Jepang menyerbu dan menduduki sebagian besar wilayah China, mengalahkan pasukan regional berturut-turut dalam lanskap pascakekaisaran yang terpecah-pecah.

Namun, pada tahun 1939, Front Persatuan melancarkan serangan balik besar pertamanya. Serangan ini berjuluk ''Serangan Musim Dingin'', berupa serangkaian aksi lapangan memperlambat laju Jepang hingga Jepang menemui jalan buntu. Salah satu titik baliknya adalah kemenangan Tiongkok dalam Pertempuran Suiyuan Barat, di wilayah yang dihuni oleh beberapa kelompok minoritas Tiongkok dan sekarang menjadi bagian dari Daerah Otonomi Mongolia Dalam.

Di wilayah Suiyan Barat, Jepang kalah di tangan para jenderal Tiongkok yang mengidentifikasi diri mereka sebagai Muslim Hui, minoritas etnoreligius yang penting di Tiongkok. Jumlah mereka kini mencapai lebih dari 10 juta lebih jiwa. Para jenderal Hui di masa lalu telah membantu menulis bab yang kini terlupakan dalam sejarah Tiongkok. Para minoritas Hui melancarkan banyak serangan di beberapa front pertempuran melawan Jepang di daratan China.

Selama perlawanan anti-Jepang ini, para pemimpin Muslim Tiongkok memproklamirkan perang suci sesuai ajaran Islam melawan penjajah asing yang kejam. Namun, suku Hui juga melihat perjuangan mereka untuk Tiongkok sebagai bagian dari perjuangan nasional yang lebih luas. Mereka melihat penguatan komunitas mereka sendiri sebagai aspek pembangunan Tiongkok yang lebih kuat di era modern.

Keterlibatan suku Hui dalam perang Tiongkok lawan Jepang itu menjadi pengingat bahwa Muslim Tionghoa telah lama memainkan peran penting dalam sejarah China. Kehadiran mereka di Tiongkok sudah ada sejak ratusan tahun lalu, tepatnya pada era abad pertengahan. Tiongkok telah menjadi tanah air bagi suku Hui selama beberapa generasi, dan pengabdian mereka tampak jelas pada saat negara tersebut berada di bawah ancaman yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Penulis buku ini menyatakan ketertarikannya pada suku Hui muslim saat ia menjalani studi dan riset di Universitas Harvard. Untuk memperdalam pemahamannya terhadap China, penulis bahkan sebelumnya sudah menetap lima tahun di Shenzen untuk belajar bahasa serta budaya China. Ia menulis tesis master sejarah China di Universitas Boğaziçi, Turki. Lalu, melanjutkan studi di Harvard.

Ada lima bab dalam buku yang mengulas suku Hui. Ulasan awal terkait identitas suku Hui. Banyak penelusuran bahkan riset yang telah dilakukan untuk menyingkap identitas suku ini. Huijiao, ajaran Hui, adalah sebutan tradisional dan banyak digunakan tertuju pada Islam. Asal kata hui, yang pada dasarnya berarti "kembali" dalam bahasa Cina. Kata ini telah menjadi misteri selama berabad-abad. Banyak intelektual terkemuka mencoba mengungkap teka-teki di balik penggunaan istilah ini.

Istilah tradisional yang digunakan untuk merujuk pada Muslim adalah Huihui, Huimin (warga sipil Hui), dan Huizi. Kemudian pada awal abad kedua puluh, perdebatan tentang sebutan ini kian semakin intensif, dan kata-kata baru ditambahkan, seperti Huizu (kelompok etnis/kebangsaan Hui), Huijiao minzu (kelompok etnis/kebangsaan ajaran Hui), Huijiao tu (murid ajaran Hui), dan Yisilan minzu (kelompok etnis/kebangsaan Islam). Masing-masing sebutan untuk suku Hui itu mempunyai konsekwensi ideologi serta politik.

Kepedulian terhadap suku Hui meningkat sejak era Dinasti Qing ((1644–1911). Warga suku ini mulai merasakan pentingnya untuk diakui sebagai warganegara dengan hak dan kewajiban setara pada saat berbagai suku lain juga merasakan hal yang sama. Apalagi pada masa pembentukan republik China ((1912–1949), peran suku Hui juga signifikan dalam konstelasi budaya, identitas serta cara pikir khas China, walau mereka punya komunikasi intensif dengan dunia Islam. Soal identitas suku Hui menjadi kian signifikan ketika era Komunis (1949– 1960), tatkala etnis Han mayoritas banyak berkiprah di panggung politik serta pembentukan wacana hegemnik.

Akhirulkalam, suku Hui di China sesungguhnya telah melahirkan warisan kebudayaan serta peradaban yang memperkaya bukan saja dunia Islam, melainkan juga bagi dunia secara keseluruhan. Meskipun, dalam seni arsitektur dan kaligrafi muslim China ini sering dipandang remeh bahkan dianggap pinggiran. Misalnya, hanya karena masjid suku Hui tak punya kubah dan menara, lantas mereka boleh jadi dianggap muslim pinggiran. Perlakuan itu tentu tak layak mengingat Islam bersifat universal.

Penulis adalah akademisi dan periset

ikuti terus update berita rmoljatim di google news