Syariat dan Tanggung Jawab Sosial

Ilustrasi/Net
Ilustrasi/Net

TIDAK seorang pun yang dengan jujur dapat mengklaim dirinya telah bersih. Keinginan untuk tampil sempurna di mata manusia adalah fitrah, namun kebersihan sejati bukan soal citra, melainkan soal laku. Kesucian hati dan perilaku adalah hal yang terus diperjuangkan seumur hidup, bukan gelar yang bisa diikrarkan sekali jadi. 

Allah mengingatkan dalam Al-Qur’an: “Maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa” (QS. An-Najm: 32).

Ini adalah peringatan halus namun tegas bahwa klaim kesucian diri adalah hal yang rawan menjerumuskan. Kesucian sejati bukan pengakuan, tetapi pengaruh—dan orang yang bersih benar-benar terlihat dari satu hal yang sangat sederhana namun mendalam: ia tidak menyakiti orang lain.

Rasulullah SAW bersabda: “Seorang Muslim adalah orang yang kaum Muslimin selamat dari lisan dan tangannya” (HR. Bukhari dan Muslim).

Inilah indikator nyata dari keislaman seseorang. Bukan pada jubahnya, bukan pada hafalannya semata, tapi pada apa yang ditinggalkan oleh lisannya—dan tidak dilakukan oleh tangannya.

Kebersihan hati akan selalu berbuah pada kebersihan sosial. Dan Syariat Islam hadir bukan hanya untuk menyelamatkan individu dari murka Allah, tetapi untuk menjadi jalan keselamatan bagi orang lain juga.

Ketika Syariat ditegakkan dalam rumah tangga, tetangga merasakannya. Ketika ditegakkan dalam bisnis, pelanggan dan mitra ikut merasakan keadilannya. Maka pelaksanaan Syariat yang benar-benar dijalankan bukan hanya menyelamatkan diri dan keluarga, tapi juga menebarkan rahmat secara horizontal.

Allah berfirman: “Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad), melainkan untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam” (QS. Al-Anbiya: 107).

Bahkan Syariat pun bukan hadir untuk mengekang, tapi membebaskan manusia dari kebodohan dan kezaliman, baik kepada dirinya sendiri maupun kepada masyarakat. Maka orang yang berani menghalangi Syariat, sejatinya sedang menyiapkan kehancuran untuk dirinya sendiri.

Sejarah menyimpan banyak pelajaran. Ketika Khalifah Umar bin Abdul Aziz mulai menegakkan Syariat secara utuh, bukan hanya kaum Muslimin yang menikmati kesejahteraan, tapi bahkan hewan-hewan pun disebutkan tidak kelaparan. Dalam satu riwayat disebutkan:

“Saat Umar bin Abdul Aziz memerintah, tidak ditemukan orang yang mau menerima zakat karena semua telah hidup berkecukupan.”

Namun, bandingkan dengan fase-fase saat umat Islam meninggalkan hukum Allah dan menggantinya dengan hukum buatan manusia—yang terjadi justru penjajahan, perpecahan, dan kemiskinan spiritual yang merajalela.

Dan Rasulullah SAW sudah mewanti-wanti: “Barang siapa di antara kalian melihat kemungkaran, maka ubahlah dengan tangannya; jika tidak mampu, maka dengan lisannya; jika tidak mampu juga, maka dengan hatinya, dan itulah selemah-lemahnya iman” (HR. Muslim).

Artinya, membiarkan Syariat dihalangi, lalu diam dan nyaman dalam pasifisme spiritual, bukanlah cermin dari keimanan yang kuat.

Maka jika ingin menjadi manusia bersih, jangan hanya sibuk mencuci citra diri. Bersihkan niat, lisan, dan perbuatan. Tegakkan Syariat bukan hanya di rumah, tapi di hati, di jalan, di tempat kerja, di masyarakat. Bukan untuk pamer, tapi untuk menjadi penyebab keselamatan bagi sebanyak mungkin manusia.

*Penulis adalah penggiat literasi dari Republikein StudieClub

ikuti terus update berita rmoljatim di google news