Peneliti Masyarakat Ilmuwan dan Teknolog Indonesia (MITI) Pudjiatmoko mengingatkan kebijakan menghapus kuota impor dapat berdampak serius terhadap keberlanjutan program swasembada daging nasional.
Meski dalam jangka pendek kebijakan ini berpotensi menurunkan harga dan meningkatkan pasokan, dalam jangka panjang kebijakan ini dapat melemahkan kemandirian pangan jika tidak diimbangi dengan perlindungan terhadap sektor peternakan lokal.
Ahli Utama Medik Veteriner Kementerian Pertanian itu menilai penghapusan kuota impor berpotensi menekan produksi daging dalam negeri.
“Harga daging impor yang lebih murah karena skala industri dan subsidi dari negara asal akan menyulitkan peternak lokal terutama yang berskala kecil dan menengah untuk bersaing. Hal ini bisa menurunkan minat beternak dan mengancam populasi ternak nasional,” ujar Pudjiatmoko dalam keterangannya dimuat RMOL, Jumat, 11 April 2025.
Di sisi lain, insentif untuk investasi dan produksi lokal bisa melemah karena kemudahan memperoleh daging impor. Program pemerintah seperti hibah indukan dan pengembangan peternakan juga berisiko kehilangan momentum.
“Ketidakseimbangan pasar domestik dapat terjadi akibat masuknya daging impor secara masif, yang akan menekan harga daging lokal dan merugikan produsen dalam negeri. Dominasi pelaku besar dalam rantai distribusi daging impor juga bisa memperlemah posisi pelaku usaha lokal dan menimbulkan ketergantungan jangka panjang terhadap produk luar negeri,” bebernya.
“Karena itu kebijakan impor terbuka hanya akan efektif jika disertai dengan perlindungan produsen lokal, pengaturan mutu impor, serta strategi swasembada yang fleksibel dan adaptif,” ujar Pudjiatmoko.
Untuk menjaga keberlanjutan sektor peternakan nasional, Pudjiatmoko menyarankan Pemerintah menetapkan beberapa langkah strategis.
Pertama, membatasi impor hanya pada produk berkualitas tinggi melalui regulasi teknis ketat agar tidak merusak pasar segmen bawah. Kedua, memberikan subsidi dan insentif berupa pakan, vaksin, bibit, dan akses pembiayaan murah untuk peternak lokal.
Ketiga, menetapkan harga beli minimum untuk daging lokal guna melindungi peternak dari kerugian. Keempat, memperkuat kelembagaan peternak melalui koperasi atau Badan Usaha Milik Petani (BUMP). Kelima, merevitalisasi program pembibitan dan produksi indukan dalam negeri.
Selain itu, lanjut dia, penyaluran daging impor perlu diarahkan untuk segmen industri olahan dan horeka (hotel, restoran dan kafe), sementara pasar rakyat dan program pemerintah tetap menggunakan daging lokal.
“Kampanye nasional ‘Bangga Konsumsi Daging Lokal’ harus digencarkan, disertai penguatan akses pasar dan infrastruktur rantai dingin,” imbuhnya.
“Pemerintah juga perlu membentuk sistem pemantauan volume, asal, dan distribusi daging impor serta mengevaluasi dampaknya secara berkala. Jika terbukti merugikan produsen lokal, kebijakan harus segera disesuaikan,” tegas dia.
Masih kata Pudjiatmoko, seluruh kebijakan tersebut perlu diselaraskan dalam roadmap swasembada daging nasional yang menetapkan target produksi dan konsumsi daging lokal serta strategi pengurangan impor secara bertahap.
“Agar kebijakan impor terbuka tidak merusak tujuan swasembada, diperlukan strategi terpadu yang melindungi pasar domestik, memperkuat daya saing peternak lokal, dan mengatur mutu serta volume impor. Tujuannya bukan menolak impor, tetapi menjadikannya pelengkap dalam upaya mewujudkan ketahanan pangan nasional berbasis produksi dalam negeri,” tandasnya.
ikuti terus update berita rmoljatim di google news
- Dihapusnya Kuota Impor Jangan Sampai Mengganggu Beras Petani Lokal
- Jelang Ramadan, Kuota Impor Daging Kerbau Kembali jadi Polemik