- Dari Akal Imitasi Menuju Kesadaran Buatan
- Pentingnya Memahami Abolisionisme Islam
- Metamorfosis Seni Persuasi Negeri Nipon
UNDER Pressure tembang beken kolaborasi Queen dan David Bowie, menjadi salah-satu hits terlama di akhir abad 20. Begitu intro tembang yang dirilis pada Oktober 1981 ini terdengar, fans grup band Queen spontan pasti hafal judul tembang itu. Dimanapun tembang diputar, lirik dan ritmenya menjadi bahasa universal. Rancak perkusi di awal, sangat ritmis. Intro yang belum pernah ada sebelumnya, itulah temuan yang sangat layak menjadi khazanah musik sampai kapanpun.
Mengawali pembahasannya, penulis buku ini mengupas dua peristiwa penting di akhir September 1977. Ketika David Bowie merilis tembang ''Heroes'' lalu dua pekan berikutnya grup band Queen mengeluarkan dua lagu sohor ''We Will Rock You'' dan ''We Are the Champions''.
Tembang Bowie kurang sukses, dibanding dua tembang Queen yang segera kondang sejagat. Diantara daya tarik tembang ini ada pada gebrakan perkusi yang identik dengan semangat fans sepak bola. Freddie Mercury, sang vokalis Queen, mengakui hal itu.
Dua tembang Queen itu segera mendunia. Identik dengan glorifikasi olah raga paling sohor, sepak bola. Bahkan menghujam ke relung sanubari remaja, menghentak semangat muda. Lirik minimalis We Will Rock You dan We Are the Champions bak mesin universal yang menerobos kerumunan. Dinyanyikan bareng, walau fans beda latar belakang. Queen terbukti sukses mengkombinasikan efek teknis musikalitas dan imajinasi kolektif warga dunia. Bahwa kemenangan milik semua, berkat kerja keras dan semangat tak pudar.
Lagu itu terus menyala sampai beberapa dekade sesudahnya. Sang penggebuk drum sekaligus backing vocal Queen, Roger Taylor, menegaskan, Queen bersifat apolitis. Siapapun berhak menikmati lirik manis menghentak dari grup beken itu. Bahkan, sang dewa gitar, Brian May, menyatakan audiens Queen adalah juga kerumunan fans bola tanpa memandang klub.
Dua tembang itu menjadi semacam lagu kebangsaan sejagat. Tak ada lagi sekat antar bangsa yang dibedakan dari lagu kebangsaan masing-masing negara. Tak ada lagi situasi seperti yang digambarkan sejarawan Trinidad Cyril Lionel Robert James (CLR James) ketika gerilyawan Haiti menyanyikan lagu kebebasan Marseillaise, the Ça Ira. Itu lagu patriotik Prancis. Sementara, pasukan Prancis justru mengepung gerilyawan Haiti yang sedang berada dalam benteng di tahun 1802 tersebut. Ini ironi, sebab gerilyawan menyanyikan lagu pembebasan Prancis, yang tembang itu justru lagu kebangsaan Prancis.
Dekade '70an memang puncak dari apa yang disebut sejarawan Eric Hobsbawm sebagai ''Dekade Krisis''. Lagu kebangsaan atau lagu pembebasan dari gerakan-gerakan sosialis internasional sudah terdengar usang. Tak enak didengar kuping. Terlalu cemplang, apalagi ada kuat sekat chauvinistik. Lagu-lagu seperti itu kalah pamor dari tembang produksi budaya yang cepat gampang diingat massa dan membentuk solidaritas universal.
Pop anthem lebih berkuasa. Ia gejala dimana-mana. Lebih sohor ketimbang sekat politis atau ideologis. Pamor lagu-lagu perjuangan seperti internationale sudah luruh. Pada ujung krisis dekade perang dingin itulah, kemudian lahir tembang ''Under Pressure'. Tembang ini menggantikan sensasi pertarungan yang sebelumnya tersirat di dalam lagu-lagu kebangsaan atau tembang perjuangan kaum proletar. Penulis buku ini mengurai dengan baik melalui analisa situasi serta dampak dari melejitnya tembang kolaborasi Queen dan David Bowie.
Max Brzezinski, penulis buku ini, adalah direktur marketing Carolina Soul yang berbasis di Durham, North Carolina, AS. Ia menyabet gelar doktor dalam kajian modernisme dari Duke University, AS. Selain lama menjadi DJ, ia juga host (pembawa acara) di radio Carolina Soul setiap bulan. Analisanya terhadap tembang Under Pressure sangat mendalam. Ia tak sekadar melihat muatan lirik atau dinamika ritme temabng tersebut. Namun, lebih luas lagi, Brzezinski menukik ke dalam situasi ketika tembang Under Pressure itu lahir dan apa yang terjadi sebelumnya.
Sebagai pop anthem, tembang Under Pressure terbukti melekatkan hubungan antar manusia dan bersifat monumental. Ada nada epik dalam tembang itu yang terasakan saat bait-bait lirik benar-benar masuk diselami penyimaknya. Bukan sekadar mendengar sebagai hiburan, tapi disimak serta dihayati. Sehingga tercipta perlekatan luar biasa antara ''kita'' dan ''mereka''. Sebagaimana filsuf budaya Gilles Deleuze dan Felix Guattari menyebutnya sebagai ''Membuat kita menjadi mereka''.
Ala kulli hal, karya Brzezinski ini merupakan literatur terobosan unik dalam melihat pengaruh tembang beken sejagat. Tembang itu memang hadir pada masanya, tapi tembang Under Pressure tersebut telah melampaui masa karena efeknya masih terasa sampai kapanpun.
*Penulis adalah akademisi dan periset
ikuti terus update berita rmoljatim di google news
- Dari Akal Imitasi Menuju Kesadaran Buatan
- Pentingnya Memahami Abolisionisme Islam
- Metamorfosis Seni Persuasi Negeri Nipon