Tragedi maut usai pertandingan Arema FC Vs Persebaya pada Sabtu malam (1/10) di Stadion Kanjuruan, Malang, dinilai merupakan puncak gunung es dari sekian banyak masalah kepribadian bangsa Indonesia.
- Jika Penusuk Syekh Ali Jaber Dicap Gila, Bisa Picu Kemarahan Umat
- Uang JHT Diduga Digunakan untuk Pembangunan, Ketum KSPSI: Jika Benar, Ini Kekeliruan Besar Pemerintah
- Harga Mie Instan Naik Tiga Kali Lipat, Mentan-Mendag Dinilai Bikin Resah Masyarakat
Demikian penilaian disampaikan Ketua Umum Partai Rakyat Adil Makmur (Prima) Agus Jabo Priyono kepada Kantor Berita Politik RMOL, Rabu (5/10).
Menurut dia, Tragedi Kanjuruhan adalah catatan kelam dunia olahraga yang sekaligus menjadi kesedihan bagi Bangsa Indonesia.
"Betapa mudahnya nyawa saudara-saudara kita melayang, tragedi ini akan terus menghantui dan menjadi sejarah paling kelam dalam persepakbolaan nasional, bahkan mungkin juga dunia,” ujar Agus Jabo.
Agus Jabo mengatakan, kepribadian bangsa Indonesia saat ini mengalami kemunduran dan jatuh ke titik paling nadir. Menurutnya, ada yang tidak beres dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dia menyinggung, sebelumnya terdapat empat institusi yang mengatur moral masyarakat juga terlibat dalam beberapa kasus, di antaranya pembunuhan yang melibatkan petinggi Polri, penangkapan rektor perguruan tinggi, penangkapan bendahara ormas keagamaan terbesar dan penangkapan salah satu Hakim Agung oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
"Sedemikian akut kerusakan kultur dan struktur bangsa dan negara. Kerusakan kepribadian bangsa," katanya.
Agus Jabo menilai, hitam putihnya kepribadian bangsa sangat dipengaruhi oleh sistem ekonomi politik yang diterapkan oleh sebuah negara.
Menurutnya, sistem yang baik juga akan menghasilkan kepribadian bangsa yang luhur. Sebaliknya, sistem yang buruk juga akan menghasilkan kepribadian yang buruk pula.
Agus Jabo memandang, bahwa nilai-nilai luhur Pancasila yang menjadi dasar kepribadian berbangsa telah lama hilang, "sirna ilang kertaning bumi'.
Kata Agus lagi, akar persoalan rusaknya kepribadian bangsa dan hilangnya nilai-nilai luhur Pancasila diakibatkan oleh penggunaan uang dan kekayaan untuk menguasai ekonomi, politik dan sosial.
"Reformasi 1998 dengan agenda demokrasi, kesejahteraan sosial dan pemerintahan bersih, yang kita harapkan mengubah sistem ekonomi, politik dan sosial, justru terjerumus ke lembah dekadensi, alam liberal menjadi sumber segala persoalan, siapa yang kapitalnya kuat, dialah yang berkuasa," jelasnya.
Pria asal Magelang Jawa Tengah itu menuturkan, bahwa setelah reformasi 1998 tidak ada perubahan berarti struktur ekonomi maupun politik.
Katanya, alam liberal hasil reformasi justru menghasilkan segelintir kecil kelompok masyarakat yang sangat kuat yang menguasai sumber daya ekonomi. Segelintir orang super kaya itu lah yang kemudian dikenal dengan oligarki.
"Segelintir orang penguasa sumber ekonomi ini dengan kekuatan uangnya kemudian mempengaruhi serta meguasai lembaga politik, akibatnya aturan dan UU yang berlaku, cenderung membela kepentingan orang-orang superkaya ini," terang Agus Jabo.
Berdasarkan laporan World Inequality Lab 2022, kata Agus Jabo, dalam dua dekade terakhir kesenjangan ekonomi di Indonesia tidak mengalami perubahan signifikan.
Laporan itu mencatat, selama periode 2001-2021 sebanyak 50 persen penduduk Indonesia hanya memiliki kurang dari 5 persen kekayaan rumah tangga nasional. Sedangkan 10 persen penduduk lainnya memiliki sekitar 60 persen kekayaan rumah tangga nasional.
Di mana, sumber daya seperti emas, gas, batubara, nikel, sawit dan lain-lain bukan dikelola untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, tetapi hanya dinikmati oleh segelintir orang.
"Situasi ini menimbulkan kesenjangan, kekecewaan dan keresahan umum," pungkasnya.
ikuti terus update berita rmoljatim di google news
- Menjelang Porprov Jatim IX, DPRD Soroti Minimnya Sosialisasi dan Harap Dampak Ekonomi Maksimal
- Wali Kota Wahyu Hidupkan Semangat Sehat Kembali di Kota Malang Melalui STMJ
- DPRD Kabupaten Malang Gelar Rapat Pansus Kajian LKPJ Bupati Tahun 2024