- Tengah Periode
- Apa yang harus dilakukan Indonesia terhadap Boeing 737 Max 8
- Setelah Nadiem Minta Maaf, Lalu Apa?
DALAM dunia modern yang diramaikan oleh gempita politik, militer, dan ekonomi, ada satu tempat yang berdiri sunyi, kecil dalam ukuran namun besar dalam pengaruh: Vatikan. Negara seluas 44 hektare ini bukan sekadar pusat spiritual umat Katolik, tetapi juga menjadi panggung diam dari diplomasi global yang mempengaruhi arah sejarah dunia.
Di bawah bayang-bayang menara Basilika Santo Petrus, diplomasi tanpa peluru dan tanpa mikrofon dijalankan. Vatikan bergerak dengan kekuatan moral bukan modal, bukan kekuasaan politik; dengan diplomasi rohani, bukan senjata. Di balik kesunyian lorong-lorongnya, Vatikan membentuk dunia.
Para Pemimpin Dunia "Menziarahi" Vatikan
Jika Pentagon adalah pusat kekuatan militer dunia, maka Vatikan adalah pusat nurani global. Tidak heran, para pemimpin dunia, lintas agama dan ideologi, selalu menyempatkan diri berziarah ke Vatikan, bukan hanya untuk protokoler, tapi untuk mencari hikmat, restu, dan moral compass.
Presiden Amerika Serikat ke-44, Barack Obama, menyebut pertemuannya dengan Paus Fransiskus sebagai “salah satu percakapan paling menyentuh secara spiritual dalam hidup saya.” Ia menambahkan, “Paus mengingatkan dunia akan pentingnya kasih, pengampunan, dan pengorbanan nilai-nilai yang terlalu sering hilang dalam politik.”
Angela Merkel, Kanselir Jerman, beberapa kali bertemu Paus dan menyatakan, “Setiap kali saya meninggalkan Vatikan, saya membawa pulang bukan hanya inspirasi, tapi juga tantangan untuk menjadikan politik sebagai instrumen belas kasih.”
Nelson Mandela, ikon perdamaian dunia, pernah berkata setelah kunjungannya ke Tahta Suci: “Kami mungkin berbeda dalam keyakinan, tapi kami bertemu dalam penderitaan dan harapan yang sama akan martabat manusia.”
Bahkan Vladimir Putin, pemimpin Rusia yang dikenal keras, selalu meluangkan waktu bertemu Paus setiap kali berkunjung ke Eropa Barat, karena “pengaruh Vatikan melampaui kebijakan, ia menyentuh batin bangsa-bangsa.”
Tidak hanya pemimpin Kristen, pemimpin dari dunia Islam pun turut berkunjung: Raja Abdullah II dari Yordania, Presiden Iran Hassan Rouhani, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan, hingga raja Yordania dan Presiden Palestina Mahmoud Abbas datang secara reguler.
Mereka tidak datang sekadar untuk protokoler tetapi untuk berdialog dengan kekuatan moral yang dipercaya oleh berbagai bangsa untuk membahas perdamaian dan keadilan. Abbas menyebut Vatikan sebagai “cahaya spiritual bagi perjuangan kami.”
Soegijapranata dan Diplomasi Sunyi untuk Indonesia Merdeka
Jauh sebelum Indonesia dikenal dunia, Vatikan telah menunjukkan kepekaannya. Dalam masa masa genting setelah proklamasi 17 Agustus 1945, saat pengakuan internasional masih samar, Vatikan melalui Uskup Agung Albertus Soegijapranata memainkan peran penting dalam diplomasi diam-diam.
Sebagai tokoh Gereja dan patriot, Soegija adalah pahlawan nasional yang menyadari bahwa kemerdekaan Indonesia bukan hanya soal senjata, tapi juga pengakuan global. Melalui jaringan Gereja Katolik di Eropa dan Amerika Latin, ia melakukan lobi-lobi senyap, memperkenalkan pemimpin Indonesia dan memperjuangkan legitimasi Republik.
Menurut arsip Vatikan dan kesaksian diplomat era awal kemerdekaan, Soegija menjalin komunikasi dengan Tahta Suci, mengirimkan pesan-pesan tentang realitas Indonesia yang sedang bangkit dari kolonialisme. Dukungan moral Vatikan menjadi sinyal penting bagi negara-negara lain, terutama di Eropa dan Amerika Latin yang mayoritas Katolik.
Vatikan kemudian menjadi salah satu negara pertama di Eropa yang menjalin hubungan diplomatik dengan Indonesia. Fakta ini mendorong Presiden Soekarno melakukan lima kunjungan resmi ke Vatikan, dan memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada uskup Albertus Soegiyopranata. Kemudian menjalin hubungan erat dengan para Paus, dan menegaskan bahwa Indonesia menghargai kekuatan moral Vatikan sebagai penjembatan dunia.
“Soegija adalah diplomat Tuhan yang menjahit kemerdekaan dengan doa dan strategi sunyi,” ujar Franz Magnis-Suseno, filsuf Katolik Indonesia.
“Soegijapranata adalah jembatan diplomatik senyap antara Jakarta dan dunia Katolik internasional,” ungkap sejarawan Vatikan, Prof. Giovanni Miccoli. “Ia bukan sekadar uskup, tapi negarawan dalam jubah.”
"Saya 100 persen katolik, 100 persen Indonesia," kata Uskup Soegiyapranata
Runtuhnya Komunisme: Paus sebagai Bintang Penuntun
Ketika Tembok Berlin runtuh pada 1989, banyak orang merayakan kemenangan demokrasi dan pasar bebas. Namun, di balik layar, sosok yang tidak boleh dilupakan adalah Paus Yohanes Paulus II. Dialah, Paus asal Polandia, yang menjadi inspirasi dan pelindung gerakan perlawanan damai seperti Solidaritas.
“Tanpa Paus, komunisme tidak akan runtuh secara damai,” kata Lech Walesa, peraih Nobel Perdamaian dan Presiden Polandia. “Ia tidak hanya berbicara tentang Tuhan, tapi menghadirkan harapan kepada kami bahwa kebebasan itu suci.”
Reagan, yang bekerja sama dengan Vatikan untuk menekan Uni Soviet, menyebut sang Paus sebagai “mitra spiritual paling penting dalam menaklukkan komunisme.”
Diplomasi untuk Palestina dan Dunia Islam
Vatikan adalah satu dari sedikit negara yang konsisten mendukung perjuangan rakyat Palestina melalui diplomasi moral. Pada 2015, pengakuan resmi Vatikan atas Palestina sebagai negara membawa angin segar bagi diplomasi internasional. Ketika bendera Palestina berkibar di PBB, dunia tahu bahwa tekanan moral Vatikan telah bekerja.
Namun Vatikan tak hanya berdiplomasi lewat surat dan pernyataan.
Di bawah Paus Fransiskus, suara azan dikumandangkan di Vatikan untuk pertama kalinya dalam sejarah, sebagai simbol persaudaraan sejati lintas iman.
Ia pun menyerukan kepada Eropa untuk “membuka pintu bagi para pengungsi Muslim”, dan secara pribadi membawa beberapa keluarga pengungsi Suriah ke Vatikan, dan mencium kaki saudara muslim di perayaan kamis putih.
“Persaudaraan tak mengenal agama, penderitaan tak memilih kepercayaan,” ujarnya.
Konsili Vatikan II: Menemukan Saudara dalam Islam
Dokumen revolusioner Nostra Aetate (1965) dari Konsili Vatikan II menjadi momen penting dalam hubungan Katolik dan Islam. Umat Islam diakui secara resmi sebagai “umat yang menyembah Allah Yang Esa, pengasih dan penyayang.” Ini bukan sekadar dokumen, tapi arah baru Gereja Katolik dalam memandang dunia.
“Ini adalah momen ketika Gereja tidak hanya berdiri di menara gading, tetapi turun menatap dunia sebagai saudara,” kata Hans Kung, teolog terkemuka.
Suara Nurani Global
Di Parlemen Amerika Serikat, Paus Fransiskus tidak sungkan mengecam kapitalisme tanpa belas kasih dan trickle down economics yang memperparah ketimpangan. Ia mengecam pembangunan tembok perbatasan, menyerukan pembangunan jembatan persaudaraan.
Dalam ensiklik Laudato Si, ia mengecam perusakan lingkungan sebagai “dosa terhadap generasi mendatang.” Ia memanggil dunia untuk bertobat dari kerakusan dan hidup lebih sederhana.
“Dunia tidak akan berubah oleh kekuasaan, tapi oleh hati yang mengasihi,” tulisnya.
Sebuah Warisan untuk Dunia
Kini, ketika dunia melepas kepergian Paus Fransiskus, kita tidak hanya kehilangan seorang pemimpin Katolik, tetapi gembala moral 1,4 miliar umat dan suara lembut bagi kemanusiaan.
Ia adalah pewaris panjang tradisi Vatikan sebagai penjaga suara hati global dari Soegijapranata di Indonesia, Yohanes Paulus II di Eropa Timur, hingga bendera Palestina di PBB dan seruan pengungsi Muslim di Lesbos.
Dalam sunyi Vatikan, dunia mendengar suara nurani yang tetap bergema di tengah riuhnya geopolitik.
“Blessed are the peacemakers,” katanya, mengutip Sabda Bahagia.
Dan dari Vatikan, damai itu memancar, tanpa teriakan, tanpa senjata hanya cinta.
Ciao Papa Francisco...??
Tulisan ini didedikasikan untuk mengenang Paus Fransiskus, Gembala Dunia, yang dalam hidupnya menolak kemewahan, memeluk kemanusiaan, dan menjadikan kasih sebagai strategi global.
*Penulis adalah pemerhati kebijakan Publik
ikuti terus update berita rmoljatim di google news
- "Ujian Politik" Partai
- Siapa Membunuh Putri (1)
- Vaksinisasi, Kepanikan Fiskal, dan Pertumbuhan Ekonomi 2021