Warga Butuh Ruang Publik yang Bebas

Foto dok
Foto dok

JIKA disebut ruang publik, janganlah dibayangkan ruang tersebut hanya ada di perkotaan, sebab sesungguhnya ruang semacam itu juga ada di pedesaan, perkampungan, pasar tradisional atau lokasi-lokasi dimana warga bisa berkumpul dan bebas berekspresi. Di beberapa daerah, pemerintah daerah juga telah berinisiatif menciptakan ruang publik dadakan, seperti Car Free Day, hari bebas dari kendaraan. Hari dimana warga bebas melenggang di jalan.

Dan ruang publik menjadi isu penting belakangan karena kehadiran investor atau penanam modal. Tentu saja, para investor ini melihat keberadaan ruang publik berbeda dari cara pandang warga biasa. Investor justru melihat ruang publik adalah peluang yang berpotensi untuk diubah menjadi ruang hunian atau ruang belanja. Caranya, mengubah peruntukan ruang publik. Dari lokasi untuk warga bisa hang out atau bersosialisasi, menjadi lokasi untuk bangunan hunian seperti apartemen atau rumah susun (rusun).

Manakala pemerintah daerah (pemda) kemudian memberi berbagai kemudahan izin untuk mengubah peruntukan ruang publik itu, maka sejak saat perubahan itulah ruang publik beralih-fungsi. Dari fungsi menaungi warga untuk bersantai, bersosialisasi dan merasakan sejenak kenyamanan dari kepenatan hidup sehari-hari, menjadi fungsi untuk meningkatkan investasi bagi pemda. Saat perubahan ini terjadi, maka isu-isu kunci seperti perubahan iklim, kekerasan, keamanan, hukum, budaya serta inklusivitas jender, menjadi isu mendesak untuk diperhatikan publik serta pemda.

Apalagi pada tahun 2024, PBB lebih mendorong tujuh sasaran dari Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs) nomor 11. Yakni, untuk memastikan akses universal terhadap ruang publik yang aman, inklusif, dan dapat diakses sampai pada tahun 2030. Ini termasuk ruang hijau, dan khususnya bagi perempuan dan anak-anak, orang tua, dan penyandang disabilitas. Ada dua indikator dari sasaran ini. Pertama, keterbukaan ruang atau area untuk semua warga, tidak boleh membedakan jenis kelamin, usia atau penyandang disabilitas.

Kedua, harus dicermati secara baik sekaligus penanggulangan seksama terhadap korban kekerasan seksual atau kekerasan fisik. Setiap ruang publik tentu mempunyai perbedaan suasana atau situasi, sehingga diperlukan upaya jeli dan cermat dalam mencatat kedua indikator tersebut dalam pelaksanaan di lapangan. Melalui cara itu, maka setiap perubahan yang terjadi di lapangan bisa segera terpantau sekaligus kemudian diantisipasi.

Buku ini menghimpun artikel ilmiah dari 24 pakar serta praktisi lintas disiplin keilmuan. Mereka mengkaji secara mendalam berbagai persoalan lokal dimana masing-masing dari mereka berada, lalu mengkaitkannya pada capaian-capaian yang dikehendaki oleh SDGs. Diantara persoalan lokal yang saat ini menjadi gejala umum di berbagai negara adalah bagaimana menyadarkan semua pihak, bahwa ruang publik adalah ''barang publik'' (Public Goods). Sebagai ''barang publik'', tentu ruang publik harus dipandang layaknya seperti kebutuhan warga terhadap kesehatan, pendidikan dan  lingkungan bersih.

Namun, yang tak boleh diabaikan adalah konteks lokal. Ketika pemda hendak meningkatkan kualitas ruang publik di daerahnya, maka aparatur pemda bisa mempelajari bagaimana ruang-ruang publik di negara lain atau daerah lain telah tumbuh dan berkembang baik. Intervensi pemda untuk mengubah ruang publik sangat dibutuhkan, selain juga perlu keterlibatan warga daerah memberi masukan atau saran. Masalahnya, perubahan ruang publik harus dilakukan dengan melihat konteks lokal.

Contoh paling nyata. Ruang publik pada daerah dengan iklim tropis tentu harus diperlakukan berbeda dari ruang publik di daerah beriklim sub-tropik. Iklim tropis membutuhkan sirkulasi udara yang baik, pepohonan memadai, tidak terlalu banyak dibatasi tembok, pagar atau dinding penghalang. Sehingga warga daerah tropis bisa merasakan kelegaan saat berada di ruang publik tersebut. Oleh karena itu, intervensi pemda mengubah ruang publik harus memperhatikan situasi lokal. Jika hal ini diabaikan, maka yang menjadi korban adalah warga daerah.

Masalah lain yang muncul adalah ketersediaan lahan parkir saat jumlah kendaraan bermotor/listrik meningkat. Ini masalah dimana-mana. Seringkali terjadi, lahan parkir lebih dibutuhkan ketimbang tempat bagi warga dengan berbagai usia, jenis kelamin atau penyandang disabilitas, bisa nyaman bersantai. Sehingga dibutuhkan kalkulasi yang tepat dari pemda untuk membagi ruang terbuka untuk warga dan ruang untuk lahan parkir.  

Ala kulli hal, buku ini semacam panduan sekaligus evaluasi menyeluruh terhadap ruang publik. Keberadaan ruang yang menjadi ''barang publik'' seringkali harus berhadapan dengan kebutuhan pemda untuk meningkatkan pemasukan daerah. Pada saat warga butuh ruang publik yang bebas dimana warga bisa nyaman, aman dan bernafas lega. Pada saat yang sama, pemda baru lega jika pemasukan daerah terus meningkat.

Penulis adalah akademisi dan periset

ikuti terus update berita rmoljatim di google news