Wartawan Bodrek Bukan Wartawan

Ilustrasi/Net
Ilustrasi/Net

AKHIR bulan Januari 2025, Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal (Mendes PDT) Yandri Susanto membikin pernyataan yang mengagetkan. Politisi Partai Amanat Nasional ini mengatakan yang sering mengganggu kepala desa itu ada dua orang yakni oknum LSM dan Wartawan bodrek.

Seperti biasa, pernyataan pejabat tersebut pun viral banyak yang menanggapi hingga menghujat. Yandri sudah menjelaskan bahwa pernyataan yang ia sampaikan itu merupakan hal yang benar-benar dialami oleh kepala desa. Termasuk berita yang memuat penangkapan terhadap oknum LSM dan oknum wartawan gadungan yang memeras kepala desa.

Meski begitu, sebagian pihak yang berasal dari unsur LSM dan wartawan mengaku kecewa terhadap pernyataan tersebut. 

Termasuk beberapa kawan dari kota lain yang saya kenal dan kapasitasnya. Mengajak melakukan aksi meminta Presiden Prabowo mencopot Mendes alasannya dia tersinggung pejabat itu sudah melecehkan profesi wartawan (bodrek). 

Saya cukup mendengarkan argumen kawan ini, dalam hati ketawa sebetulnya. Saya tanya balik kenapa kok tersinggung yang lain atau saya sendiri aja menanggapi pernyataan itu  biasa saja. Karena saya bukan wartawan bodrek yang suka mendatangi kepala desa, mungkin sampeyan seperti itu tanya balik ke kawan ini. Bukannya dijawab malah pamitan ngloyor pergi.

Praktik wartawan gadungan, atau sering disebut wartawan bodrek, masih terus muncul. Tentu saja bukanlah wartawan dalam arti sebenarnya. Mereka hanya menunggangi pers untuk kepentingan pribadi atau golongan. Cuma berbekal kartu pers, kalau dulu masih ada media cetak mereka membawa koran yang jarang terbit edisi 1 - 2 kemudian mendekati narasumber dengan alasan ingin wawancara namun ujungnya meminta uang. Bahkan tak jarang dengan cara pemerasan.

Banyak yang menanyakan apa yang membedakan wartawan bodrek dengan wartawan sungguhan. 

Saya mencoba untuk menjawab pertanyaan ini agar dipahami masyarakat. Dalam UU Pers 40 tahun 1999 Pasal 1 ayat (4) UU Pers dikatakan “Wartawan adalah orang yang secara teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik”.

Kita sepakati dulu kutipan pasal diatas tersebut dalam pengertian sehari-hari, wartawan adalah orang yang melakukan kerja jurnalistik berdasarkan etika dan ada produk yang dihasilkan secara teratur.

Terus kalau sekarang, yang mereka datang hanya karena undangan rilis datangnya rombongan, nulis beritanya dan foto juga disiapkan yang mengundang. Kemudian dapat transport lalu pulang setelah itu sehari-harinya nunggu undangan rilis. Dengan siklus tersebut apa bisa disebut wartawan sungguhan. Coba deh dipikir sendiri.

Terkadang wartawan bodrek itu untuk mempertahankan eksistensinya selalu berbicara tentang profesionalisme sebagai jurnalis. Karena begitu terbukanya profesi wartawan ini, muncul kesan begitu mudahnya untuk menjadi wartawan.

Profesi wartawan tidak beda seperti profesi lainnya misal profesi pengacara, dokter, akuntan, guru, notaris dan sebagainya. Jadi yang mau saya katakan ketika seseorang disebut memiliki profesi harus mempunyai kompetensi yang didapat melalui pelatihan singkat, pendidikan singkat atau formal. Dengan pelatihan tersebut ia memiliki keahlian. 

Mereka bekerja tidak semata-mata karena profesinya namun juga memiliki tanggung jawab terhadap karyanya. Jadi uji kompetensi wartawan (UKW) itu mutlak.

UKW tujuannya meningkatkan kualitas wartawan memenuhi standar atau ukuran tertentu. Terabaikannya kualitas wartawan membuat praktek jurnalis menjadi carut marut. Meningkatnya delik pers dan tingginya angka pelanggaran kode etik jurnalistik dan seperti referensi yang saya baca pada klimaksnya nanti memunculkan fenomena baru yang disebut "kejahatan media" (media crime). Selamat hari pers nasional.

*Penulis adalah wartawan RMOLJatim

ikuti terus update berita rmoljatim di google news